Tuesday, August 31, 2021

Resiko Pelayanan PMI di Tengah Pandemi

Materi Sr Laurentina, PI dalam Diskusi Pandemi dan Pekerja Migran: Akses terhadap Vaksin di Tengah Hoaks dan Krisis Ketenagakerjaan 

Vaksin untuk semua, tak terkecuali untuk pekerja migran. Itu seruan global menanggapi ketimpangan akses vaksinasi antara negara maju dan negara berkembang apalagi negara miskin. Ini juga mempengaruhi ranah ketenagakerjaan dimana dampak pandemik telah menimbulkan krisis mata pencaharian dan penghidupan. Seruan tersebut saat ini juga diteriakkan Koalisi C20 Indonesia agar negara-negara G20 mengambil tindakan penting terkait akses vaksin untuk semua.
Seri II Putaran Diskusi Akses Vaksin untuk Pekerja Migran dan Krisis Ketenagakerjaan digelar Migrant Care dan SEA-Junction, juga didukung oleh Akar Ilmiah, IFN {INDONESIAN FAMILY NETWORK} Singapura dan Koalisi C20 Indonesia. Acaranya diselenggarakan pada hari Minggu, 29 Agustus 2021 mulai jam 13.00 WIB - selesai.

Acara ini merupakan kelanjutan dari Seri I yang sudah diselenggarakan seminggu sebelumnya, hari Minggu 22 Agustus 2021 dengan pembicara Binti Rosidah (Pertimig Malaysia), Dewi S Sari (MAFINDO) dan testimoni oleh Migrant Care Jember dan Banyuwangi. Sedangkan Seri II ini diisi oleh Sammi dari IFN Singapore, dr. Ariel Pradipta, M.Res, Ph.D dari Akar Ilmiah, Sr Laurentina dari Sahabat Insan, dan testimoni dari Migrant Care Jawa Barat dan SARI Solo.



Sr. Laurentina sendiri dalam kesempatan kali ini memaparkan tema "Resiko Pelayanan PMI di Tengah Pandemi." Beliau menceritakan tentang kondisi pekerja migran setelah dipulangkan dari negara tempat mereka bekerja. Seperti diketahui, para pekerja migran merupakan salah satu kelompok yang rentan terdampak pandemi ini.


Permasalahan yang dihadapi saat sedang di negeri orang antara lain:
  • PHK, gaji tidak dibayar, hingga bekerja ekstra tanpa insentif sebagai implikasi dari kondisi pandemi, terjebak di negeri asing akibat diperketatnya akses keluar-masuk negara, serta bertahan dalam keterbatasan (makanan maupun tekanan dari lingkungan sekitar).
  • Kebijakan Pemerintah yang melarang mudik, namun kepulangan PMI tidak bisa dilarang atau dihindari karena mereka telah habis masa kontraknya. Lalu bagaimana nasib mereka?
  • Sejak dahulu, pekerja migran memang sering dicap sebagai pembawa virus, dari HIV-AIDS, SARS, MERS dan Covid-19. Suster Laurentina pernah mendampingi salah satu pekerja migran yang dipulangkan dari Malaysia dalam keadaan negatif, ternyata saat transit di Surabaya dan hendak diterbangkan ke Kupang hasil tes PCR nya positif sehingga harus menjalani isolasi terlebih dahulu selama 14 hari, dan setelah negatif baru bisa kembali ke kampung halamannya.
  • Kurangnya informasi yang jelas membuat teman-teman di Malaysia yang sebagian besar bekerja di perkebunan tidak mudah untuk mengakses vaksin.
  • Di awal pandemi jaringan di Batam memberi info bahwa mereka mendampingi para pekerja yang dipulangkan dari Singapura yang harus menjalani karantina di hotel dengan biaya sendiri.
  • Kurangnya fasilitas saat PMI dipulangkan dari Malaysia ke daerah. Misalnya saat tanggal 21 Agustus 2021 yang lalu, ada 45 PMI dipulangkan dari Nunukan lewat pelabuhan, kemudian di pelabuhan mereka ada yang kabur karena takut untuk dikarantina lagi, karena mereka sendiri waktu mau ke Indonesia harus menunggu dua bulan untuk vaksin dan baru dapat kapal. Terus dibawa ke Kupang dan saat sampai di pelabuhan, waktu didata tinggal 37 orang yang saat itu transit di Koperasi Danakertrans Provinsi NTT. Dan setelah itu malamnya, sambil menunggu hasil PCR, 31 orang dari mereka kabur lagi, sehingga sisa 6 orang yang akhirnya diantarkan ke kampung halamannya di Kabupaten TTS. Hal ini disebabkan karena kurangnya fasilitas selama karantina, waktu itu menggunakan aula terbuka dan hanya dijaga oleh satpol PP, Tindakan ini tentu saja sangat membahayakan karena kalau positif tentu akan membahayakan bagi para penduduk kampung tersebut.
Meskipun masa pandemi, tetapi pelayanan baik di pelabuhan, kargo - bandara maupun pendampingan di shelter. walaupun penuh resiko namun tetap dilaksanakan dengan menjalankan protokol kesehatan.

Tantangan lain yang dihadapi adalah menjelaskan kepada keluarga jika ada pekerja migran yang meninggal karena covid sehingga harus dimakamkan di negara tempat ia bekerja dan tidak bisa dipulangkan. Suster harus menginformasikan kepada keluarga dengan perasaan berat hati, agar mereka dapat menandatangani surat persetujuan pemakaman, namun Suster juga bertanggung jawab dengan mengirimkan foto dan video saat pemakaman sehingga keluarga bisa lebih ikhlas menerima walaupun tidak dapat melihat untuk terakhir kalinya anggota keluarga yang telah tiada.


Dalam masa pandemi ini, dokumen yang diminta oleh Kedutaan untuk pemulangan jenazah semakin banyak. Banyak surat-surat yang harus dilengkapi, tidak seperti masa-masa sebelumnya. Kemudian terjadi juga antrian panjang jenazah yang melelahkan. Mereka yang meninggal tidak karena covid, juga antri untuk dipulangkan. Hampir setiap hari, di KBRI Malaysia selalu ada 40 jenazah yang antri untuk dipulangkan. Sekarang ini, jenazah-jenazah yang diterima itu segel bea cukainya dibuka di Jakarta. Hal ini membuat biaya semakin mahal, karena menurut mereka biaya penerbangan langsung dari Malaysia ke Kupang lebih murah daripada dari Jakarta ke Kupang, serta otomatis waktu yang diperlukan untuk sampai ke kampung halaman juga lebih lama.

Pelayanan yang dilakukan di Bandara El-Tari Kupang antara lain, mendampingi pekerja migran pulang ke kampung halamannya di masa covid ini. Ada yang sakit, ada yang seorang diri di kursi roda. Dalam pelayanan ini, Suster bekerja sama dengan BP2MI Kupang mendampingi mereka baik yang datang secara perorangan atau kelompok, misalnya mengantar check-in, atau menyediakan shelter tempat mereka beristirahat sejenak saat pesawat yang akan menerbangkan ke kampung halamannya delay. Teman-teman korban trafficking dari Medan juga dilayani, meskipun dalam perjalanan ada resiko yang mereka hadapi. Kadang mereka pulang tidak membawa hasil, tidak membawa uang, sedangkan biaya PCR juga tinggi jika tidak didampingi.

Cerita di pelabuhan juga sama, bagaimana mengawal pekerja migran yang meninggal, kadang-kadang malam kadang-kadang siang berjam-jam tim menunggu di pelabuhan. Apalagi cuaca NTT kali ini tidak menentu (ada angin besar) sehingga kadang-kadang kapal tidak jalan. Makanya pelayanan terbaik diberikan agar jenazah bisa sampai kampung halaman dengan tenang, juga koordinasi dengan keluarganya dan pihak pelabuhan untuk memastikan kapan jadwal kapal ke daratan Flores, Pelabuhan Sumba, dan banyak pulau2 yang ada di NTT.


Mereka yang pulang itu sudah jatuh tertimpa tangga. Mereka di PHK sepihak, pulang tanpa gaji, menghadapi masalah keluarga (beban ekonomi), Ketika mereka pulang tanpa uang, ini sangat miris sekali. Pernah suatu saat Suster mengantar seorang pekerja migran, keluarganya dalam keadaan sangat memprihatinkan, segera membutuhkan biaya hidup untuk dibantu, tapi pekerja migran ini pulang tanpa membawa hasil, dan ini membuat Suster bingung harus seperti apa karena harus berhadapan langsung dengan keluarga itu. Kemudian juga kadang-kadang pulang membawa anak, yang kadang-kadang tidak dikehendaki karena mereka sesama pekerja migran yang non-prosedural jadi untuk mengurus perkawinan juga sangat sulit.


Ada juga yang belum sempat ke negara tujuan, mereka sudah menjadi korban TPPO baik di tempat transit atau di tempat asal. Untungnya banyak jaringan yang membantu di tempat trasit sehingga beberapa waktu yang lalu juga diurus beberapa teman yang ada 4 anak yang mau dikirim ke malaysia namun akhirnya bisa diselamatkan dan dibawa pulang ke NTT dan sampai saat ini masih didampingi.

Pandemi entah sampai kapan kita tidak pernah tahu. Tapi kisah buruh migran tidak pernah kenal lockdown akan selalu ada dan ada. dan memang harus segera diberikan solusi bagaimana mereka melanjutkan hidup.

Wahyu Susilo memberikan apresiasi kepada Sr Lauren atas karya pelayanan yang dilakukan di NTT, yang sangat sulit untuk tidak dilakukan walaupun situasi tidak mendukung. Ada pembatasan di sana sini tapi lockdown tidak bisa menghalangi Sr Lauren dan teman-teman memberikan pelayanan terbaik bagi pekerja migran, baik yang pulang hanya dengan membawa nama saja atau pulang dengan membawa cerita duka. Semua karya yang tidak bisa dilakukan secara online.

Apakah ada dukungan dari Pemerintah Pusat dan Daerah untuk pemulangan PMI? Selama ini yang ditolong adalah pekerja migran non-prosedural, jadi mereka tidak resmi dan akses ke pemerintah agak susah. Ketika mereka meninggal di Malaysia, di sana ada komunitas orang-orang NTT atau Flobamora, mereka memberikan bantuan kepada orang-orang yang mengalami musibah. Memang tidak semua bisa ditangani mereka, tetapi Suster bekerja sama dengan Keuskupan, gereja dan jaringan yang ada di Malaysia, Biaya pemulangan dari KL ke Kupang sekitar 25juta, dan saat sudah tiba di Kupang dana bisa dari Gubernur dan BP2MI juga membantu. Pemulangan lewat kapal Ferry tidak membayar, hanya biaya administrasi saja 500ribu, sedangkan kapal PELNI berkisar 1,5 sampai 2 juta. Pemulangan hanya difasilitasi Pemerintah jika dia pekerja resmi. Namun jika tidak, biaya ditanggung secara gotong royong oleh donatur.
Diskusi ini juga dilengkapi dengan pemaparan situasi pandemi bagi pekerja migran di Singapore. Sammi dari IFN Singapore mengatakan bahwa secara umum semua pekerja migran di sana tidak kesulitan untuk mendapatkan vaksin karena memang registrasi dibuka untuk umum dan semua pekerja migran boleh melakukannya, kecuali jika majikan melarang karena takut ada efek samping yang membahayakan.


Dalam pandemi ini, sebagian besar pekerja migran jam kerja bertambah karena majikan juga ada di rumah, dan pekerja migran tidak boleh keluar dan tidak boleh libur untuk bertemu teman-temannya. Kondisi ini menambah tingkat stress bagi para pekerja, ditambah dengan adanya covid mereka tidak diijinkan cuti dan mengunjungi keluarga karena kekhawatiran majikan. Proses rekrutmen juga terhambat, karena kesulitan untuk kembali masuk ke Singapura dan biaya penempatan yang cukup besar mencapai 4000 $Sin. Potongan gaji pun semakin besar karena biaya karantina. Apalagi di Singapore sejak bulan April 2021, karantina menjadi 21 hari. Hal ini memberatkan para pekerja di Singapura dan ini juga beban. Tidak adanya training center, sehingga pekerja tidak mendapatkan pelatihan tentang cara hidup, tentang bahasa, tentang pekerjaan dll sehingga pekerja tidak siap. Mereka jadi depresi dan banyak yang jatuh sakit sehingga harus dipulangkan dan harus membayar biaya sisa potongan yang jumlahnya tidak sedikit. Mayoritas dari mereka baru bekerja beberapa bulan dan agency diwajibkan membayar sisa potongan itu. Banyak yang tertekan dalam pekerjaan sehingga kabur dari rumah majikan, sedangkan kabur jika kemudian bekerja dengan majikan lain akan menambah potongan gaji.

Pemaparan ini dilengkapi dengan penjelasan tentang pentingnya vaksin, aspek-aspek lain yang terkait, dan pentingnya menjaga prokes bagi para pekerja migran yang mobilitasnya tinggi, apalagi bagi mereka yang ada di luar negeri. Materi ini dibawakan oleh dr. Ariel Pradipta, M.Res, Ph.D dari AKAR Ilmiah sebagai ahli imunologi.