Wednesday, December 15, 2021

PELATIHAN JURNALISTIK YOUTH TASK FORCE ANTI HUMAN TRAFFICKING

“Siapkah kalian mengubah dunia melalui media sosial?” Ingin mengontrol atau dikontrol?

Pertanyaan ini dilontarkan oleh salah satu narasumber kepada anak-anak muda yang hadir dalam pelatihan jurnalistik yang diadakan pada hari Kamis dan Jumat, 2-3 Desember 2021. Jeni, salah satu relawan Jaringan Anti-TPPO Kupang yang merupakan mitra Sahabat Insan, mengikuti Pelatihan Jurnalistik Youth Task Force Anti Human Trafficking di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Kita Institut. Kegiatan untuk mengenalkan kejahatan perdagangan manusia kepada generasi muda ini diselenggarakan di Hotel PORTA, Yogyakarta. 


Youth Taskforce Anti-TPPO atau dalam Bahasa Indonesia Satgas Pemuda Anti Perdagangan Manusia adalah sekelompok Anak Muda Indonesia yang dibentuk dan dibina oleh Lembaga KITA dan Zero Trafficking Network (ZTN) untuk ikut serta dalam upaya pecegahan tindak pidana perdagangan orang. 

Tujuan diadakannya kegiatan ini adalah:

1.    Keterlibatan anak muda dalam upaya pencegahan dan penanganan TPPO.

2.    Terjalinnya kerja sama atau keterlibatan anak muda anggota task force dalam kegiatan anggota ZTN di wilayah/daerah.

3.    Keterlibatan gugus tugas anak muda dalam ZTN.

4.    Pengelolaan media digital ZTN oleh taskforce anak muda anti TPPO.

5.    Menjadikan media digital ZTN yang dikelola sebagai bahan edukasi anti TPPO yang efektif bagi masyarakat.

6.    Kaderisasi anak muda untuk anti TPPO.

Kegiatan hari pertama dibuka dengan sambutan dan ucapan selamat datang oleh Ketua Kita Institut Wonosobo, Eka Munfarida. Beliau memperkenalkan lembaga yang dipimpinnya sebagai organisasi masyarakat sipil yang dibentuk tahun 2009, karena adanya keprihatinan pada kemiskinan. Seiring berjalannya waktu, lembaga ini sekarang berfokus pada pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Artinya tidak hanya tentang TPPO, tetapi juga ada pendampingan kasus, pemberdayaan hingga ke desa-desa. Saat ini Kita Institut sudah ada di tingkat nasional dan internasional. Ia juga mengatakan bahwa peserta yang terpilih di sini adalah 25 pemuda dan pemudi terbaik di tiap daerah. 

Selanjutnya Romo Agus Duka SVD selaku koordinator ZTN dalam sambutannya mengucapkan selamat kepada peserta dan berterima kasih kepada Kita Institut yang bersedia menyelenggarakan acara ini. Yang kedua, Romo mengungkapkan bahwa kegiatan ini hadir dengan sebuah pertanyaan besar: mau buat apa dengan anak muda? Beliau kemudian memperkenalkan ZTN, sebagai lembaga yang memiliki taskforce untuk lobi dan advokasi, ada religius leader dari semua agama, media training dan jurnalis network khusus untuk wartawan NTT. ZTN memikirkan bahwa anak muda diperlukan untuk isu kemanusiaan, sehingga terbentuklah Youth Taskforce Anti Human Trafficking. Ada tiga poin penting yang dilihat, yaitu semangat muda untuk berkarya, TPPO, dan media sosial. Anak muda bisa melawan TPPO dengan mengkampanyekannya melalui media sosial. "Kami adalah corong untuk melawan TPPO, juga untuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Semoga kegiatan tidak berhenti di sini, tapi jadilah corong bagi rakyat yang menderita." tutup Romo Agus Duka, SVD.

Usai jam istirahat, sekitar 30 menit acara dilanjutkan dengan pemberian materi tentang Human Trafficking oleh Ketua KABAR BUMI yaitu Karsiwen atau yang biasa disapa dengan Mba Iweng. Tim KABAR BUMI sudah menangani banyak kasus TPPO dan Mba Iweng sendiri adalah seorang mantan PMI di Hongkong.


Keluarga Besar Buruh Migran atau yang lebih dikenal dengan KABAR BUMI berdiri pada 11 Mei 2021 dan merupakan organisasi akar rumput yang beranggotakan BMI, keluarga BMI, dan simpatisan yang mendukung perjuangan BMI dan sudah berada di beberapa provinisi yaitu NTT, NTB, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera. Kegiatan yang dilakukan adalah kampanye, advokasi, dan pelayanan masa, pendidikan dan sosialisasi, ekonomi mandiri. Mba Iweng juga menyebutkan bahwa korban TPPO semakin meningkat pada masa pandemik dan mayoritas korban adalah perempuan, berasal dari pedesaan, dengan pendidikan rendah (SD, SMP, SMA). Untuk lebih memahami makna TPPO, Mba Iweng menyuguhkan sebuah video tentang proses TPPO, yang terjadi bahkan sampai kepada penangkapan pelaku. Mba Iweng juga menunjukkan hukum dan UU yang berlaku di Indonesia untuk TPPO dan penjelasannya masing-masing seperti UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan UU No. 17 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Modus-modus TPPO juga tidak luput diinformasikan oleh Mba Iweng seperti modus umrah, modus PMI, modus perkawinan atau pengantin pesanan, modus dipacari atau diajak wisata, modus magang/PKL/kuliah di luar negeri, modus kunjungan wisata dengan tujuan untuk diekploitasi seksual dan tenaga kerja, perbudakan dan bahkan aktivitas terlarang (menjadi kurir narkoba) dan terbaru adalah perekrutan melalui media sosial. Oleh karena itu media sosial itu harusnya tidak menjadi sarana perekrutan pelaku namun alat bagi anak muda untuk memerangi TPPO. Mba Iweng menyebutkan ada 4 jenis pelaku yang disebutkan oleh UU yaitu orang perseorangan (pasal 1 angka 4 UU TPPO), kelompok terorganisir (penjelasan pasal 16 UU TPPO), korporasi (pasal 1 angka 6 UU TPPO), penyelenggara negara (pasal 8 ayat 1 UU TPPO).

Masuk kepada penyebab TPPO itu terjadi, Mba Iweng menjelaskan ada faktor utama dan faktor pendukung. Faktor utama yaitu ekonomi (dimana masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan jeratan hutang, serta terbatasnya lapangan pekerjaan), pendidikan (rendahnya pendidikan mengakibatkan sebagian masyarakat jadi mudah dijebak dalam setiap tindakan yang berkaitan dengan praktek TPPO baik dalam kapasitasnya sebagai pelaku maupun korban), hukum (kesadaran dan pemahaman hukum terkait UU TPPO yang belum memadai baik dilevel eksekutif, legislative, yudikatif maupun tataran masyarakat kebanyakan). Faktor pendukung diantaranya meningkatnya permintaan tenaga kerja dari Indonesia di pasar internasional sementara keterampilan SDM belum disiapkan sesuai pangsa pasar dan daya tarik bekerja di luar negeri begitu besar dengan pelbagai impiannya.

Dalam penanganan kasus TPPO yang dilakukan oleh KABAR BUMI tidak semudah dibayangkan. Ada hambatan yang ditemui khususnya dalam pendampingan non-litigasi, yaitu: 1) Hambatan dari korban itu sendiri, yaitu ketika korban masih mengalami trauma akibat kekerasan yang dialami maka proses mendapatkan informasi yang runut membutuhkan waktu lama. 2) Hambatan dari keluarga korban. Saat mereka tidak menerima keadaan korban dan dianggap sebagai aib, proses pendampingan psikisnya terhambat dan menganggap yang utama adalah pelaporan kasus kepada pihak berwajib daripada pemulihan secara psikis dan fisik. 3) Hambatan dari pendamping, pendamping yang usianya lebih muda dari korban seringkali disepelekan karena dianggap sebagai anak-anak oleh keluarga korban.

Di akhir materi, Mba Iweng menjelaskan tentang pentingnya peran pemuda dalam mencegah dan melawan TPPO yaitu pemuda yang berdaya dan mengetahui unsur-unsur TPPO tidak ditipu untuk menjadi korban, pemuda bisa men-transform informasi dan ilmunya dengan lebih kreatif dan membagikan kepada generasi selanjutnya, kekuatan gerakan pemuda dalam melawan perdagangan manusia sangat signifikan (mayoritas).

Usai materi pertama, peserta diminta untuk berdiskusi untuk mendalami materi TPPO tentang kejadian yang pernah dilihat atau dialami dan baru disadari bahwa itu adalah TPPO. Kelompok dibagi menjadi lima, sesuai dengan tempat duduk masing-masing. Kami diberikan waktu 10 menit untuk berdiskusi, kelompok lima maju lebih dulu untuk mempresentasikan dan disusul oleh kelompok lainnya.

Berikut adalah hasil presentasi dari setiap kelompok:

Kelompok 5 menemukan bahwa korban TPPO bisa juga laki-laki berdasarkan pengalaman yang ditemui di Kalimantan Barat, lalu perempuan yang tidak sadar bahwa ia adalah korban hanya karena ingin mengikuti gaya hidup yang ditemukan di Manado dan yang ketiga adalah eksploitasi anak yang ditemui di Atambua. Eksploitasi anak ini dibalut oleh adat hukum, adat dan sistem yang berlaku.

Kelompok 3 menemukan modus dari TPPO melalui media sosial (telegram, facebook, whatsapp, michat) dengan pelaku di bawah umur (kasus yang ditemukan di Lampung). Yang ditemukan di Sukoharjo bahwa eksploitasi anak terjadi namun pihak berwajib tidak melakukan tugasnya sebagai seorang pihak yang berwenang.

Kelompok 2 menemukan adanya sugar daddy yang mencari korbannya dengan kedok hanya ‘menemani’ dan korban tidak sadar bahwa mereka adalah korbannya. Yang berikut adalah open BO yang mana korban menawarkan diri demi memenuhi tuntutan ekonomi dan gaya hidup dan merasa bahwa itu pekerjaan.   

Kelompok 4 menemukan bahwa eksploitasi joki cilik merupakan TPPO namun dianggap sebagai budaya dan adat di NTB meskipun tidak ditemukan literatur budaya tentang joki cilik. Orangtua juga mendukung joki cilik ini karena penghasilan yang didapat bisa sampai puluhan juta, puncaknya adalah pada 2019 lalu dimana seorang joki cilik yang meninggal dunia akibat terjatuh dari atas kuda.

Kelompok 1 membahas tentang kasus eksploitasi anak (anak kecil berjualan minuman dan manusia silver) yang ditemukan di Jakarta dan daerah Jawa pada umumnya. Di Sumatera Barat ditemukan kasus istri yang dijual oleh suaminya untuk melunasi hutang dari suaminya. Permasalahan kompleks dimana pendidikan masih minim dan pernikahan pada usia yang mudah. Di Padang ditemukan pacar dijual di aplikasi dan merupakan polemik baru di generasi Z. Yang berikut adalah bayi disewakan kepada pengemis-pengemis, lalu ada agen menipu anak untuk bekerja yang terjadi di Batam.

Materi kedua adalah tentang sejarah dari TPPO. Fakta menunjukkan bahwa TPPO itu ada dan terjadi di semua wilayah atau daerah. Lalu bagaimana perdagangan orang itu terjadi? Berikut adalah sejarah TPPO yang disampaikan oleh pemateri kedua, Ibu Rumiyati dari Kita Institute Wonosobo tentang Power and Conviction Human Trafficking, Gender Perspective.


TPPO dimulai pada 3000 tahun Sebelum Masehi yaitu perbudakan di Mesir Kuno dimana budak dipekerjakan secara paksa untuk membangun piramida. Abad ke-15 yaitu penguasa Portugal, Pengiriman Budak Dari Afrika ke Eropa. Abad ke-19 di Amerika yaitu perbudakan pada masa perang sipil. Abad ke-20, Belanda dan Jepang menjajah Indonesia. Abad ke-21 yaitu perbudakan melalui kerja paksa para buruh migrant dan perdagangan seks dalam industri prostitusi serta pornografi.

Di Indonesia sejarah perbudakan adalah sebagai berikut: a) Masa kerajaan: sistem kekuasaan raja tidak terbatas dengan banyak selir baik atas nama kesetiaan maupun dijual oleh keluarga raja; b) Tahun 1811: Pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan, pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh Deandles; c) Tahun 1870: Privatisasi perkebunan dan kulturstelsel. Bentuk perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda: perbudakan tradisional dan perseliran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa, kerja rodi menjual anak perempuan untuk mendapatkan imbalan materi dan kawin kontrak; d) Tahun 1929: Pembahasan Perdagangan Perempuan dan anak tentang beberapa anak dari desa pringsurat di Mageleng yang diculik pada saat darmawisata ke Semarang dengan membawa anak dibawa ke Singapura. Kasus ini mendorong terbentuknya Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan anak (P4A). Lembaga ini cikal bakal terbentuknya pemberantasan perdagangan perempuan dan anak (BPPPA) yang merupakan hasil konggres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia Surabaya ( 13-18 Desember 1930); e) Tahun 1900-an: Kasus paling banyak  pembayaran utang (keluarga terlilit utang pada rentenir kemudian menyerahkan anak atau istrinya sebagai alat pembayar utang. Penjajahan Jepang kerja rodi dan komersial seks terus berkembang. Perempuan pribumi menjadi pelacur tetapi juga Jepang membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, Hongkong untuk melayanai perwira penting Jepang.

Ibu Rumi juga menjelaskan cara perekrutan dalam perdagangan orang di masa kependudukan Jepang khususnya perempuan adalah melalui saluran-saluran resmi yang digagas Jepang dimana perempuan diperas tenaganya dalam pekerjaan masal menjadi pembantu rumah tangga, pemain sandiwara atau pelayan restoran, dan melalui jalur resmi aparat pemerintahan seperti carik, bayan, dan iuran untuk mengumpulkan perempuan desa adalah dengan cara kekeluargaan sehingga dalam proses pemberangkatan mereka dijanjian untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang. Tetapi sampai di lokasi ternyata mereka dieksploitasi. ‘Era globalisasi perbudakan marak kembali dalam wujudnya yang legal maupun ilegal dan terselubung, berupaya memperdagangkan orang melalui ancaman, bujukan, penipuan dan rayuan untuk direkrut dan diperjualbelikan dan dipekerjakan di luar kemauannya, sehingga menjadi pekerja seks, pekerja paksa dan eksploitasi lainnya.’

Pandangan agama terhadap perbudakan (empat agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha) adalah membebaskan manusia dari perbudakan terhadap makhluk ciptaan. Satu fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah pengaruh power dan inconviction melanggengkan perbudakan yaitu dimana proses TPPO ini, di setiap lininya kekuasaaan bersifat terstruktur misalnya dilakukan oleh negara yang mencakup kebijakan atau tindakan atau mekanisme peraturan dan kontrol maupun sosialisasi/internalisasi.

TPPO merupakan bentuk kejahatan yang paling tidak disadari oleh korban karena modusnya bersembunyi dibalik kesulitan ekonomi dan finansial. Perdagangan manusia jalur migrasi internasional  merupakan kejahatan transnasional dengan tujuan pasar industri seks dan pasar tenaga kerja murah. Nilai transaksi kejahatan TPPO merupakan sumber pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional.

Kerentanan Perempuan sebagai korban perdagangan orang yaitu viktimisasi perempuan (mengkriminalkan Pekerja Migran Indonesia khususnya perempuan); migrasi prosedur illegal (pemalsuan usia dan status dll) dan migrasi legal namun diselundupkan dan diperdagangkan; praktek sosial budaya yang diskriminatif terhadap korban. Mitos kawin muda/kawin paksa menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan kesempatan ekonomis dan pendidikan. Usia muda mereka dihabiskan dengan pekerjaan domestik. Adanya persepsi di daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan dan diperjual belikan. Dampak kapitalisme global mengantarkan maraknya industri hiburan dan seks dengan mempekerjakan perempuan sebagai model, bintang film, penghibur di bar maupun restoran. Filosofi Laisezz Fair dan Neoliberalisasi yang dikandung oleh globalisasi menghasilkan logika bahwa segala hal dapat dikomersialisasikan dan dikomoditikan termasuk perempuan. Jenis pekerjaan menekankan penggunaan feminitas dan seksualitas untuk meraup keuntungan.

Persoalan norma sosial dan stigma yang dihadapi oleh korban TPPO dalam proses migrasi maupun paska migrasi, khususnya dalam mengakses layanan yang tersedia, berkontribusi pada kerentanan individu terhadap perdagangan orang, menghambat akses korban terhadap layanan pasca kepulangan, merusak kesetaraan gender; dan melemahkan proses-proses migrasi. Kelemahan dalam kerangka pemerintahan di tata kelola migrasi yang ada antara lain adalah normalisasi atas kekerasan, dan stigmatisasi pekerja migran atas kegagalan dalam migrasi mereka.

Di hari kedua, peserta belajar tentang pentingnya pembuatan platform media digital dalam pencegahan perdagangan manusia oleh Imam Ahmad Ihsanudin. Sebelumnya ada review tentang materi hari kemarin yaitu tentang perdagangan manusia. TPPO berkaitan erat dengan relasi kuasa, kemiskinan, pendidikan rendah, gaya hidup (ketidaktepatan penggunaan teknologi dan informasi yang berisi konten seksual, game, aplikasi percakapan). Sedangkan untuk relasi kuasa adalah pemerintah/oknum (kebijakan masih belum diakomodir, perlindungan minim), tokoh agama (penafsiran yang keliru), tokoh masyarakat (adat/budaya), keluarga (suami, orangtua, paman, dll), pacar/teman. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat menyebabkan TPPO semakin marak terjadi. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh anak muda? Mas Ihsan selaku narasumber memberikan jawabannya dengan memaparkan materi tentang media sosial dan anak muda.


Mas Ihsan memulai dengan sebuah pertanyaan, “Siapkah kalian mengubah dunia melalui media sosial?” Ingin mengontrol atau dikontrol? Sebelum mengubah dunia, ada beberapa hal yang terlebih dulu diubah yaitu mengubah diri dan mengubah orang lain. Perubahan bisa dimulai dengan perubahan kecil. Jika biasanya setiap bangun pagi yang dicari adalah handphone bisa diubah dengan berolahraga atau bermeditasi atau merapikan tempat tidur. Hal sederhana yang sebenarnya merupakan suatu kebiasaan yang baik. Mas Ihsan menceritakan pengalamannya untuk bisa lepas dari ketergantungan telepon genggam. Fakta menunjukkan bahwa rata-rata setiap harinya pria menghabiskan waktu 5,4 jam untuk membuka sekitar 47 aplikasi/alamat website sedangkan perempuan 5,6 jam membuka 54 aplikasi atau domain. Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg sudah tahu dampak negatif dari barang yang mereka buat sehingga melarang anak mereka untuk menggunakan handphone sebelum cukup umur.

Algoritma yang dibangun oleh aplikasi seperti Tik Tok dan Instagram melihat dari apa yang disukai oleh penggunanya. Yang terjadilah adalah banjir informasi dimana-mana, kebebasan berdemokrasi terjadi di sini. Ada dampak positif dan negative dari penggunaan gadget. Dampak positif yang bisa dilihat adalah korban pelecehan yang tidak mendapatkan keadilan membagikan kisahnya di media sosial dan mendapatkan simpati dari netizen dan keadilan itu ia dapatkan. Dampak negatif yang paling sering dilakukan adalah saat orangtua memberikan anak kecil atau bahkan masih bayi gadget agar tidak rewel. Gadget menjadi budaya manusia. Hal yang seharusnya mempercepat manusia untuk bekerja malah menjadi penghambat. Media sosial yang memberikan hiburan itu membangkitkan hormon dopamine dalam tubuh manusia. Banyak konten yang merusak generasi kita dan itu adalah tugas dari kami semua untuk melawan itu. Saat dunia banjir informasi yang tidak relevan kejernihan berpikir adalah kekuatan (compotional thinking).” Empat hal yang ada dalam compotional thinking adalah analisis konten, pola pikir, masa lalu, development. Dari situ akan muncul critical thinking. Untuk bisa berpikir dengan jernih perlu dilakukan yang namanya digital minimalism (filosofi penggunaan teknologi dimana seseorang memusatkan waktu onlinenya hanya pada segelintir aktifitas yang telah ia pilih dengan cermat dan membawa manfaat optimal bagi dirinya). Seorang digital minimalism dengan senang hati mengabaikan semua aktivitas online yang tidak memberikan nilai tambah bagi hidupnya. Seleksi aplikasi yang berguna untuk hidup anda. Sehingga penggunaan aplikasi akan menjadi jelas dan spesifik.

Mas Ihsan mengajak kita untuk lebih memperhatikan dalam penggunaan aplikasi karena, apa yang dilihat dan didengar dalam keseharian sangat berpengaruh pada kualitas hidup yang kita miliki. Pengunaan sosial media yang sembrono, membuat pemikiran penggunanya menjadi keruh, sulit fokus. Gadget menjadi salah satu penyebab kecemasan hingga depresi pada masyarakat di era pandemik.


Lalu apakah media sosial bisa digunakan untuk memerangi TPPO? Sangat bisa dilakukan yaitu dengan cara membangun konten yang baik dengan memperhatikan penggunaan bahasa, menghargai orang lain, kontrol pada konten, overposting, preferensi bukan plagiasi. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan merancang konten dengan memperhatikan isu harian, isu mingguan, isu bulanan, isu tahunan. Cermati juga target, tonton ulang, dampak positif juga negative, # (hashtag), dan upload. Saran selanjutnya adalah rutin upload dan terjadwal akan diutamakan sering muncul di laman media sosial. Artinya perlu konsisten dalam mengupload.

Usai materi dari narasumber ketiga selesai, peserta diminta oleh panitia untuk membuat video berdurasi singkat berkaitan dengan kampanye TPPO juga kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dengan waktu selama 30 menit. Jeni memilih untuk membuat video tulisan berisi puisi dari Kakak Yuli Benu dengan judul Perempuan-Perempuan Pinggiran, sedangkan peserta yang lain paling banyak membuat tentang video TPPO dari materi yang sudah didapatkan oleh narasumber. Video yang sudah dibuat ditonton bersama-sama di ruang pertemuan.


Selanjutnya untuk rencana tindak lanjut, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari lima orang peserta dari berbagai daerah dengan kemampuan bermedia sosial yang berbeda. Setiap kelompok diminta untuk membuat project dalam bentuk audiovisiual (vlog/video) dan tulisan (berisi analisa tentang human trafficking versi kelompok dan sebagai anak muda, yang akan dilakukan untuk mencegah human trafficking) dengan tujuan untuk mendorong pelibatan anak muda dalam anti human trafficking melalui kampanye dan berjejaring.



Kegiatan ditutup dengan pemberian kesan dan pesan oleh peserta, penandatanganan berita acara oleh masing-masing peserta dan diakhiri dengan foto bersama. Peserta diminta untuk mengurus administrasi. Pelatihan Jurnalistik Youth Task Force ditutup secara resmi.