Monday, December 20, 2021

KUNJUNGAN MITRA KE JRS (JESUIT REFUGEE SERVICE) YOGYAKARTA

 Laporan relawati Sahabat Insan, Jeni Laamo, dari Yogyakarta

Sebagai seorang relawati dari Sahabat Insan aku diharuskan untuk mengenal mitra kerja dari Sahabat Insan itu sendiri. Itulah mengapa aku akan tinggal cukup lama di Jawa. Selain untuk mengenal mitra kerja, aku juga diajak melihat Yogyakarta dan Jakarta. Pagi hari ini aku berkunjung ke Jesuit Refugee Service atau biasa disebut dengan JRS. Aku datang bersama dengan Kakak Saras dan bertemu dengan Romo Peter Devantara, SJ atau yang akrab disapa Romo Devan. Dari Romo Devan kami mendapatkan banyak informasi penting tentang JRS, mulai dari sejarah, visi misi hingga pelayanan yang dilakukan hingga sekarang.


JRS Indonesia adalah sebuah pelayanan yang dilakukan oleh Jesuit bagi orang-orang yang terpaksa mengungsi. JRS memiliki visi suatu dunia tempat orang-orang terpaksa mengungsi dapat memperoleh perlindungan, kesempatan dan partisipasi dengan misi, karena diilhami oleh cinta dan teladan Yesus Kristus yang murah hati. JRS berupaya untuk menemani, melayani dan membela kepentingan orang-orang yang terpaksa mengungsi agar mereka dapat memulihkan diri, mengembangkan diri, dan menentukan masa depan mereka sendiri. Model ekspansi karya JRS memuat tiga dimensi yaitu kebutuhan para pengungsi yang terus mengglobal, kemitraan dengan gereja dan pemerintah setempat serta organisasi dan berbagai instansi/lembaga lainnya, dan yang ketiga adalah Serikat Yesus itu sendiri. Singkatnya JRS melayani orang luar dan dalam negeri. Orang luar negeri itu ditempatkan di Jakarta dan Bogor, paling banyak adalah dari Afganistan. Pengungsi yang ditangani oleh JRS itu tersebar di masyarakat. Mereka kos di rumah-rumah, tidak dalam satu rumah aman. Tapi ada yang namanya Community Housing yang dikelola oleh IOM dan ada aturan-aturan yang harus diikuti.

Untuk mengetahui tentang JRS lebih jauh bisa dilihat dari apa yang dikatakan oleh Romo Baskara bahwa “JRS dasarnya adalah iman Katolik. Meskipun demikian institusi pelayanan Katolik dan Yesuit ini tidak eksklusif, tidak terdiri dari dan tidak berdiri bagi orang-orang Katolik saja. Sebaliknya institusi ini bersifat inklusif. Ia membuka diri terhadap orang-orang yang memiliki atau tertarik untuk memiliki visi dan misi yang sama dengan yang dimiliki JRS. Yang dilayani pun bukan hanya Katolik saja. Supaya tidak menjadi sekadar urusan pribadi dan tidak sebatas kata-kata syahadat, iman itu harus dapat diwujudkan menjadi berkat yang nyata bagi yang lain.”

JRS memiliki tujuh nilai sebagai ciri-ciri kodratinya yaitu martabat, solidaritas, partisipasi, bagi rasa, hospitalitas, harapan, keadilan. Melihat pada sejarah awal terbentuknya JRS, para Yesuit melayani ratusan ribu pengungsi dari Vietnam yang transit di Indonesia dan ditampung didalam kamp pengungsi di Pulau Galang di tenggara Batam, Kepulauan Riau (1975-1955). Di Aceh dan Nias, JRS melakukan berbagai pelayanan pada masa darurat serta pengadaan rumah tahan gempa bagi para pengungsi korban gempa bumi dan tsunami. JRS juga membantu para pengungsi akibat gempa Jogja (2006) dan erupsi Merapi (2010) serta gempa Cianjur (2010) dengan rehabilitasi pemukiman. Pendampingan terhadap komunitas orang muda dan sekolah di beberapa desa di Aceh Selatan (2008-2011) juga dilakukan agar mereka mampu mencegah pengungsian, mengatasi konflik, dan mengurangi resiko bencana alam. Pada 2009 JRS Indonesia mulai hadir bagi para pencari suaka dan para pengungsi dari Afghanistan, Somalia, Irak, Myanmar (Rohingya-stateless), Suriah, Sudan Selatan, Ethiopia, Palestina, Eritrea, dan lain-lain yang bertahan hidup tanpa bantuan dari suatu organisasi kemunusiaan. Juga hadir di Palu, Donggala, Sigi (2018-2020) untuk menemani, melayani, dan membela kepentingan para penyintas gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah. Bagi anak-anak sekolah, para guru dan para tokoh masyarakat setempat JRS melakukan pendampingan dan kunjungan rutin agar mereka tetap berpengharapan dan bersemangat.

Ada empat preferensi apostolic universal Serikut Yesus, sebagai berikut:

1.       Showing the way to God (menunjukkan jalan menuju Tuhan)

2.       Walking with the excluded (berjalan bersama mereka yang menjadi pengecualian)

3.       Journeying with the youth (perjalanan bersama orang muda)

4.       Caring our common home (merawat rumah kita bersama)

Romo Devan juga menunjukkan kepada aku dan Kakak Saras video-video dari Bapak Paus Fransiskus yang menyatakan kepeduliannya terhadap pengungsi, juga beberapa video anak-anak dari pengungsi yang membuat kami menangis. Ada dua video yang sempat viral beberapa tahun lalu, dimana seorang anak balita yang diajarkan untuk tertawa saat mendengar bunyi tembakan dari pesawat, atau seorang anak yang berusaha tersenyum saat menjelaskan kepada wartawan tentang kedua orangtuanya yang sudah meninggal. Belum lagi menunjukkan orang-orang yang stateless, artinya yang tidak memiliki kewarganegaraan, seperti di Camp Rohingya.


Dari pengungsi-pengungsi yang ditangani oleh JRS, ada yang mau diberdayakan sehingga menjadi mandiri, ada pula yang tidak mau, dengan alasan mengurangi kerentanannya sehingga mereka tidak diterima oleh negera ketiga (seperti Australia, Jerman, dsbnya). Pada dasarnya Indonesia adalah negera transit. Ada kepercayaan bahwa semakin rentan pengungsi tersebut semakin mudah bagi dia untuk diterima di negara ketiga. Pengungsi itu banyak pikirannya, sama seperti manusia pada umumnya. Ada jutaan orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang mana kewarganegaraan mereka disangkal dan tidak memiliki akses untuk mendapatkan hak dasar mereka seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kebebasan untuk bertindak. Terlepas dari pembatasan gerakan terkait covid dan permintaan dari komunitas internasional untuk gencatan senjata yang akan memfasilitasi respons covid 19, perpindahan terus terjadi dan tumbuh. Hasilnya, di atas satu persen dari populasi dunia yang sekarang dipindahkan secara paksa, 1 dari 95 orang di bumi telah melarikan diri dari rumah mereka karena konflik dinegara mereka dan penganiayaan yang dialami. Ini membandingkan 1 dari 195 pada 2010. UNHCR mengeluarkan data populasi yang terdaftar di Indonesia termasuk didalamnya 9966 pengungsi, 3307 pencari suaka dengan total 13. 273 individu dan 7815 kasus. Perempuan menduduki angka tertinggi yaitu 47 persen dan terendah adalah orang lanjut usia sekitar 2 persen.

Romo juga mengingatkan bahwa menghalau pengungsi itu sama dengan membiarkan mereka mati. Seringnya mereka membiarkan diri mereka untuk dieksploitasi karena mereka berpikir bahwa daripada tidak ada penghasilannya sama sekali.

Bersama dengan Romo Devan kami mendapatkan informasi berharga tentang JRS juga tentang pengungsi itu sendiri, tentang pelayanan-pelayanan yang sudah dilakukan bagi para pengungsi mulai dari melayani, menemani dan membela mereka. Ada sisi lain dari refugee yang diperlihatkan oleh romo bahwa mereka pun sebenarnya tidak ingin pergi dari negara mereka sendiri jika tidak terpaksa dan dipaksa. Punya kewarganegaraan, punya identitas lengkap, bahkan tahu harus pulang kemana, sungguh itu adalah sebuah anugerah. Ini membuatku bersyukur karena bisa hidup dengan bebas, bernafas dengan lega di negara tercinta. Bahwa aku diakui oleh negara dan menjadi seorang warga negara, itu sudah menunjukkan bahwa hidupku sungguh berharga. Amin.