“Kita tidak pernah memperlakukan bumi seperti saudari dan ibu yang menampung kita.”
(Laudato Si’ 2)
Dalam Laudato Si’ no. 18, Paus Fransiskus menyebut secara eksplisit istilah “rapidadción” sebuah istilah yang merujuk pada percepatan besar-besaran dalam irama hidup, kerja, dan perubahan yang melanda manusia dan planet ini. Ia menyebutnya sebagai proses percepatan cepat (rapidification) yang menyebabkan kehidupan modern kehilangan keselarasan dengan kecepatan alamiah ciptaan.
“Percepatan terus-menerus dari perubahan-perubahan yang memengaruhi umat manusia dan planet ini kini bergandengan tangan dengan irama hidup dan kerja yang semakin intens, sesuatu yang dapat disebut ‘percepatan cepat’.” (Laudato Si’ 18)
Realitas ini merupakan bentuk nyata dari krisis ekologi yang tidak hanya bersifat fisik dan sosial, tetapi juga spiritual dan pastoral. Bumi terluka dengan kecepatan yang mengejutkan, sementara pertobatan dan kasih kita terlalu lamban.
1. Kecepatan yang Membutakan
Dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus menekankan bahwa kemajuan teknologi dan industrialisasi modern membawa konsekuensi serius bagi lingkungan. Sayangnya, ritme pertumbuhan ekonomi dan konsumerisme sering tidak sejalan dengan ritme pertobatan ekologis. Manusia modern tergoda untuk mengejar efisiensi dan kenyamanan, bahkan dengan mengorbankan harmoni ciptaan.
Kitab Suci mengingatkan sejak awal bahwa bumi bukan milik kita untuk dimiliki sewenang-wenang:
“Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dunia dan yang diam di dalamnya.” (Mazmur 24:1)
Kita adalah pengelola, bukan pemilik. Bila pengelola menjadi serakah, rumah pun roboh.
2. Teriakan yang Tidak Didengar
Paus Fransiskus menggambarkan bumi sebagai “ibu yang menangis karena perlakuan buruk anak-anaknya” (LS 2). Ia menyuarakan betapa banyaknya penderitaan: pencemaran, pemanasan global, krisis air, deforestasi, hilangnya spesies, dan penderitaan orang miskin akibat bencana ekologis. Namun, reaksi manusia seringkali acuh, atau sibuk dengan proyek-proyek politik dan ekonomi yang justru memperparah kerusakan.
“Kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.” (Roma 8:22)
Jeritan ini bukan fiksi teologis; ia nyata dalam setiap longsor, banjir, kekeringan, dan kelaparan.
3. Pertobatan yang Dipercepat
Melawan kecepatan yang membinasakan hanya bisa dilakukan dengan percepatan kasih dan pertobatan. Laudato Si’ mengundang kita pada pertobatan ekologis (LS 219)—yaitu transformasi hati dan gaya hidup, agar kita kembali ke ritme ciptaan, bukan ritme mesin.
Kitab Kejadian mengingatkan peran awal manusia:
“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kejadian 2:15)
Bukan mengeksploitasi, tetapi memelihara.
Langkah-langkah konkret seperti penghijauan, pengelolaan sampah, hidup sederhana, dan edukasi ekologi adalah bentuk kasih nyata.
“Orang benar memperhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam.” (Amsal 12:10)
Pertobatan ekologis tidak hanya menyentuh manusia, tetapi juga ciptaan lain yang rapuh.
4. Laudato Si’ dan Laudate Deum: Suara yang Terus Bergema
Tahun 2023, Paus Fransiskus melanjutkan seruannya melalui dokumen Laudate Deum, semacam lampiran profetis dari Laudato Si’. Nada dalam dokumen ini lebih mendesak, seolah berkata: “Tidak ada lagi waktu untuk menunggu.” (Laudate Deum 2)
Maka karena Laudate Deum tidak terlepas dari Laudato Si’, dokumen ini pun turut kami masukkan ke dalam Katekismus Laudato Si’, sebagai kelanjutan dan penguatan pesan Paus mengenai krisis ekologis global yang mendesak: “…dan saatnya untuk membinasakan barangsiapa yang membinasakan bumi.” (Wahyu 11:18). Pesan ini tegas: merusak bumi berarti menolak kehendak Pencipta.
5. Gereja yang Berjalan Bersama Bumi
Sinodalitas ekologis adalah bagian dari spiritualitas zaman ini. Gereja tidak bisa hanya berkotbah dari mimbar, tapi harus berjalan bersama alam dan kaum miskin yang terluka. Liturgi, sakramen, devosi, dan pendidikan iman perlu memberi ruang bagi dimensi ekologis.
“Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, semuanya Kaubuat dengan kebijaksanaan; bumi penuh dengan ciptaan-Mu.” (Mazmur 104:24)
“Pandanglah burung-burung di langit… namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga.” (Matius 6:26)
Tuhan sendiri peduli kepada burung dan bunga. Bagaimana mungkin kita, sebagai anak-anak-Nya, tidak peduli pada bumi tempat kita berpijak?
Penutup: Lebih Cepat Mencintai daripada Merusak
Rapidadción bukan hanya fenomena sosial atau ekologis, tetapi tantangan spiritual: apakah kasih dan pertobatan kita lebih cepat dari kejahatan yang kita biarkan? Laudato Si’ dan Laudate Deum bukan sekadar dokumen ajaran, tetapi adalah seruan cinta dan tangis kenabian.
Mari jawab dengan tindakan. Jangan biarkan bumi menangis sendirian. Jadilah murid Kristus yang mencintai bumi seperti Yesus mencintai manusia: dengan menyentuh, menyembuhkan dan menyerahkan diri sepenuhnya.
Laudato si’, mi’ Signore!
Terpujilah Engkau, ya Tuhanku!
Jakarta, Juni, 2025
Ignatius Ismartono, SJ