Wednesday, June 18, 2025

Rapidadción: Ketika Bumi Menjerit Lebih Cepat daripada Doa Kita Refleksi Pastoral atas Seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’

 “Kita tidak pernah memperlakukan bumi seperti saudari dan ibu yang menampung kita.”

(Laudato Si’ 2)

Dalam Laudato Si’ no. 18, Paus Fransiskus menyebut secara eksplisit istilah “rapidadción” sebuah istilah yang merujuk pada percepatan besar-besaran dalam irama hidup, kerja, dan perubahan yang melanda manusia dan planet ini. Ia menyebutnya sebagai proses percepatan cepat (rapidification) yang menyebabkan kehidupan modern kehilangan keselarasan dengan kecepatan alamiah ciptaan.

“Percepatan terus-menerus dari perubahan-perubahan yang memengaruhi umat manusia dan planet ini kini bergandengan tangan dengan irama hidup dan kerja yang semakin intens, sesuatu yang dapat disebut ‘percepatan cepat’.” (Laudato Si’ 18)

Realitas ini merupakan bentuk nyata dari krisis ekologi yang tidak hanya bersifat fisik dan sosial, tetapi juga spiritual dan pastoral. Bumi terluka dengan kecepatan yang mengejutkan, sementara pertobatan dan kasih kita terlalu lamban.

1. Kecepatan yang Membutakan

Dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus menekankan bahwa kemajuan teknologi dan industrialisasi modern membawa konsekuensi serius bagi lingkungan. Sayangnya, ritme pertumbuhan ekonomi dan konsumerisme sering tidak sejalan dengan ritme pertobatan ekologis. Manusia modern tergoda untuk mengejar efisiensi dan kenyamanan, bahkan dengan mengorbankan harmoni ciptaan.

Kitab Suci mengingatkan sejak awal bahwa bumi bukan milik kita untuk dimiliki sewenang-wenang:

“Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dunia dan yang diam di dalamnya.” (Mazmur 24:1)

Kita adalah pengelola, bukan pemilik. Bila pengelola menjadi serakah, rumah pun roboh.

2. Teriakan yang Tidak Didengar

Paus Fransiskus menggambarkan bumi sebagai “ibu yang menangis karena perlakuan buruk anak-anaknya” (LS 2). Ia menyuarakan betapa banyaknya penderitaan: pencemaran, pemanasan global, krisis air, deforestasi, hilangnya spesies, dan penderitaan orang miskin akibat bencana ekologis. Namun, reaksi manusia seringkali acuh, atau sibuk dengan proyek-proyek politik dan ekonomi yang justru memperparah kerusakan.

“Kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.” (Roma 8:22)

Jeritan ini bukan fiksi teologis; ia nyata dalam setiap longsor, banjir, kekeringan, dan kelaparan.

3. Pertobatan yang Dipercepat

Melawan kecepatan yang membinasakan hanya bisa dilakukan dengan percepatan kasih dan pertobatan. Laudato Si’ mengundang kita pada pertobatan ekologis (LS 219)—yaitu transformasi hati dan gaya hidup, agar kita kembali ke ritme ciptaan, bukan ritme mesin.

Kitab Kejadian mengingatkan peran awal manusia:

“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kejadian 2:15)

Bukan mengeksploitasi, tetapi memelihara.

Langkah-langkah konkret seperti penghijauan, pengelolaan sampah, hidup sederhana, dan edukasi ekologi adalah bentuk kasih nyata.

“Orang benar memperhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam.” (Amsal 12:10)

Pertobatan ekologis tidak hanya menyentuh manusia, tetapi juga ciptaan lain yang rapuh.

4. Laudato Si’ dan Laudate Deum: Suara yang Terus Bergema

Tahun 2023, Paus Fransiskus melanjutkan seruannya melalui dokumen Laudate Deum, semacam lampiran profetis dari Laudato Si’. Nada dalam dokumen ini lebih mendesak, seolah berkata: “Tidak ada lagi waktu untuk menunggu.” (Laudate Deum 2)

Maka karena Laudate Deum tidak terlepas dari Laudato Si’, dokumen ini pun turut kami masukkan ke dalam Katekismus Laudato Si’,  sebagai kelanjutan dan penguatan pesan Paus mengenai krisis ekologis global yang mendesak: “…dan saatnya untuk membinasakan barangsiapa yang membinasakan bumi.” (Wahyu 11:18). Pesan ini tegas: merusak bumi berarti menolak kehendak Pencipta.

5. Gereja yang Berjalan Bersama Bumi

Sinodalitas ekologis adalah bagian dari spiritualitas zaman ini. Gereja tidak bisa hanya berkotbah dari mimbar, tapi harus berjalan bersama alam dan kaum miskin yang terluka. Liturgi, sakramen, devosi, dan pendidikan iman perlu memberi ruang bagi dimensi ekologis.

“Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, semuanya Kaubuat dengan kebijaksanaan; bumi penuh dengan ciptaan-Mu.” (Mazmur 104:24)

“Pandanglah burung-burung di langit… namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga.” (Matius 6:26)

Tuhan sendiri peduli kepada burung dan bunga. Bagaimana mungkin kita, sebagai anak-anak-Nya, tidak peduli pada bumi tempat kita berpijak?

Penutup: Lebih Cepat Mencintai daripada Merusak

Rapidadción bukan hanya fenomena sosial atau ekologis, tetapi tantangan spiritual: apakah kasih dan pertobatan kita lebih cepat dari kejahatan yang kita biarkan? Laudato Si’ dan Laudate Deum bukan sekadar dokumen ajaran, tetapi adalah seruan cinta dan tangis kenabian.

Mari jawab dengan tindakan. Jangan biarkan bumi menangis sendirian. Jadilah murid Kristus yang mencintai bumi seperti Yesus mencintai manusia: dengan menyentuh, menyembuhkan dan menyerahkan diri sepenuhnya.

Laudato si’, mi’ Signore!

Terpujilah Engkau, ya Tuhanku!


Jakarta, Juni, 2025

Ignatius Ismartono, SJ

 

Tuesday, June 10, 2025

PHK Massal dan Dampaknya terhadap Pekerja Migran Indonesia: Antara Krisis dan Harapan

 

Mass Layoffs and Their Impact on Indonesian Migrant Workers

Mass layoffs in Indonesia have increased in recent years, particularly in labor-intensive sectors such as textiles and manufacturing. The impact is deeply felt by young workers and women, many of whom have lost their primary source of income. In the midst of household economic crises, a significant number of these individuals turn to migration and become Indonesian Migrant Workers (PMI) as an alternative means of survival. Unfortunately, not a few fall into irregular migration paths and become victims of human trafficking.

One of the tragic cases that came to light is the story of Meriance Kabu, a PMI from East Nusa Tenggara (NTT), who was tortured by her employer in Malaysia. Her fate is not an exception. In 2024 alone, 124 coffins of PMI from NTT were repatriated to Indonesia, most of them victims of exploitation and abuse. Disturbingly, human trafficking syndicates often involve state officials and community leaders who are supposed to protect citizens.

The main drivers of this phenomenon are structural unemployment and weak social protection for those affected by layoffs. When severance benefits are inadequate and vocational training programs are irrelevant to labor market needs, migration becomes the only perceived option. The children of migrant workers are also affected, particularly in their limited access to education in host countries. Efforts from international organizations such as the ILO through the Decent Work Country Programmes have not been fully effective without strong national law enforcement.

To address this issue, preventive measures are needed through public education, regionally based job training, and strengthened immigration oversight. The shooting of five Indonesian migrant workers in Malaysia in early 2025 illustrates the weak protection the state provides its citizens abroad. Although the Indonesian Ministry of Foreign Affairs has lodged a protest, justice for the victims remains elusive. In some cases, victims must face their traffickers in foreign courts while enduring significant psychological trauma.

The state must take a more proactive role in creating dignified employment opportunities at home and systematically dismantling trafficking syndicates. Unresolved mass layoffs only push impoverished citizens further into the traps of high-risk migration. This is not merely an economic issue but a humanitarian crisis and a moral test for the Indonesian nation. It is time for the state to show up—not just as a bystander, but as a true protector of its people's dignity.



Gambar diambil dari https://citizen.riau24.com/berita/baca/1728275233-badai-phk-di-indonesia-dilirik-jokowi-sri-mulyani-hingga-airlangga-hartanto



Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi kenyataan pahit bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2024 mencapai 5,45 persen, naik dibandingkan tahun sebelumnya. Beberapa sektor industri padat karya seperti tekstil, elektronik, dan manufaktur dilaporkan melakukan PHK karena tekanan global, otomasi, serta perpindahan investasi ke negara-negara dengan biaya tenaga kerja lebih rendah.

Friday, May 30, 2025

Tuesday, May 13, 2025

HABEMUS PAPAM




Mosaik Indah: Indonesia di Mata Paus Fransiskus dan Tantangan di Era Paus Leo XIV

 

Prof. Francisia Saveria Sika Ery Seda dari Universitas Indonesia (kanan), Ignasius Jonan (Ketua Panitia Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia | tengah), Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty (Ketua Umum PGI | tengah), Siti Musdah Mulia (Cendekiawan Muslim | tengah), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC (Ketua Presidium KWI | kiri) | Foto: Saras

Wednesday, May 7, 2025

WHY I GOT INVOLVED IN THE MOVEMENT THAT CARES FOR VICTIMS OF HUMAN TRAFFICKING

 

Jesuit Among Muslims in Asia (JAMIA) Asembly 25 July - 29 July, 2023, Jakarta, Indonesia Jesuit Conference of Asia Pacific (JCAP)


Monday, May 5, 2025

Melek Digital, Tangkal Hoaks: Guru Garda Terdepan Literasi Informasi

 

Dalam era digital yang sarat dengan arus informasi tak terbendung, literasi digital menjadi kunci utama dalam membentuk masyarakat yang cerdas dan beradab. Menyadari pentingnya peran pendidik dalam menghadapi tantangan ini, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) bekerja sama dengan Harian Kompas (Kompas.id), 5P Global Movement, serta Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus (PRAKSIS) menggelar diskusi bertajuk "Tangkal Hoaks dan Fake News". Acara ini berlangsung pada Jumat, 2 Mei 2025, pukul 12.00–16.00 WIB, di Graha Pemuda Lantai 4, Kompleks Gereja Katedral Jakarta.

Wednesday, April 30, 2025

SMILE NOW 2025: Fun Walk Bumi Ceria di Hari Bebas Sampah

 


Jakarta, 27 April 2025 – Dalam rangka memperingati Hari Bumi 2025, Universitas Katolik Atma Jaya bersama ATMI (Akademik Teknik Mesin dan Industri). di Jakarta menggelar acara bertajuk SMILE NOW – Fun Walk Waste Free Day. Kegiatan ini berlangsung pada Minggu, 27 April 2025 di jalur Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) Jakarta. Tema besar Hari Bumi tahun ini adalah “Daya Kita, Planet Kita” yang menekankan pentingnya menjaga Bumi sebagai sumber kehidupan. Melalui jalan santai sambil memungut sampah, para peserta berkomitmen membuat perubahan sederhana namun bermakna. Semangat ini menjadi jawaban nyata atas ajakan menjaga keberlanjutan planet tercinta.

Inspirasi Paus Fransiskus


 



Monday, April 28, 2025

The Sisterhood Indonesia: Menyatukan Perempuan Pengungsi dalam Solidaritas dan Harapan

 

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, berdiri sebuah komunitas yang menjadi oase bagi perempuan pengungsi dari berbagai negara. The Sisterhood Indonesia, didirikan pada Hari Perempuan Internasional tahun 2018 oleh empat perempuan pengungsi—Bahar, Kalsoom, Nimo, dan Waheeda—merupakan ruang aman pertama dan satu-satunya di Jakarta yang dikelola oleh dan untuk perempuan pengungsi. Sejak berdiri, lebih dari 1.200 perempuan telah mengikuti berbagai kegiatan yang bertujuan untuk membangun kepercayaan diri, keterampilan dan solidaritas di antara sesama.

Mengenal The Sisterhood

The Sisterhood Indonesia adalah komunitas yang didirikan dan dipimpin oleh perempuan pengungsi, berkomitmen untuk memperkuat ikatan persaudaraan antarperempuan dari berbagai latar belakang dan mempromosikan hak serta kesejahteraan perempuan pengungsi di Indonesia. Anggotanya berasal dari berbagai negara seperti Afghanistan, Kamerun, Eritrea, Iran, Irak, Palestina, Pakistan, Somalia, dan Yaman.

Friday, March 21, 2025

Earth Hour 2025

 Yang terkasih rekan-rekan Sahabat Insan dan para simpatisannya,

Earth Hour 2025 akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 22 Maret 2025, mulai pukul 20.30 hingga 21.30 waktu setempat.  Pada waktu tersebut, individu, komunitas, dan bisnis di seluruh dunia diajak untuk mematikan lampu dan peralatan elektronik yang tidak esensial selama satu jam sebagai simbol dukungan terhadap upaya penanggulangan perubahan iklim dan pelestarian lingkungan. 

Earth Hour biasanya dilaksanakan pada Sabtu terakhir bulan Maret. Namun, pada tahun 2025, acara ini dijadwalkan pada 22 Maret, bukan 29 Maret.