Monday, May 27, 2019

Menolak Lupa Kasus Human Trafficikng NTT

#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa (1)

Maraknya kasus "Human Trafficking" di provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) merupakan salah satu masalah terbesar bangsa Indonesia yang masih saja sulit untuk ditangani oleh Pemerintah. Merujuk data dari BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Kupang terkait peningkatan jumlah PMI (Pekerja Migran Indonesia) korban human trafficking yang dipulangkan dari negara penempatan dalam keadaan tidak bernyawa ke tanah air adalah bukti ketidakmampuan pemerintah.
Berdasarkan data BP3TKI pada tahun 2017 yang lalu, terdapat 64 jenazah PMI yang tiba di Kargo Bandara El Tari Kupang dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 sebanyak 104 jenazah. 

Human Trafficking (sumber : google)
Diamnya pemerintah bukan berarti semua pihak membiarkan ketidakberesan (lepas tangan) atas “borok” yang semakin menganga pada tubuh bangsa ini. Ada banyak tangan terjulur untuk membantu menangani kasus yang menciderai HAM (Hak Asasi Manusia) baik yang berasal dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), aktivis kemanusiaan, kaum religius dan lembaga sosial lainnya, salah satunya Lembaga Sahabat Insan yang berfokus dalam penanganan korban yang terabaikan, tersingkirkan sebagai korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Tentu gerakan ini semakin menandakan pemerintah kehilangan “taringnya” dalam mencengkram dan memutus rantai human trafficking.
Pada 2018 lalu, Sahabat Insan mengirim seorang relawati, Arta, untuk membantu karya kerasulan Anti Human Trafficking Susteran Penyelenggaraan Ilahi di Kupang, NTT. Banyak hal yang dilakukan bersama kaum religius dan aktivis kemanusiaan dalam menangani berbagai macam kasus, mulai dari sosialisasi, pelayanan Kargo (penjemputan jenazah) di Kargo Bandara El Tari Kupang, pemulangan PMI yang bermasalah dari negara penempatan hingga advokasi pendampingan proses hukum bagi para korban selama kurang lebih satu tahun.
Dari 104 jenazah yang dipulangkan ke NTT pada tahun 2018, ada 50 jenazah yang ditangani secara langsung olehnya bersama dengan kaum religius dan aktivis kemanusiaan. Kisah tersebut akan dirangkum dalam blog Sahabat Insan sebagai dokumentasi dari pemulangan 50 jenazah yang menjadi korban human trafficking hanya demi sesuap nasi untuk mengisi “perut yang sejengkal”.
Dengan dibagikannya kisah ini, diharapkan mampu membuka mata dan hati kita bahwa di bagian Timur Indonesia, masih banyak masyarakat bangsa ini yang sangat kekurangan, tersingkir, menderita dan masih tidak bisa lepas dari rantai human trafficking. Kisah ini juga sebagai sebuah langkah “menolak lupa” atas segala bentuk intimidasi dan eksploitasi tak berujung yang merongrong HAM hingga detik ini.


 Relawan Kemanusiaan Anti Human Trafficking 
Aku teringat kisahku sebagai seorang relawan bersama dengan seorang suster YSPI (Yayasan Sosial Penyelenggaraan Ilahi) yang dijuluki sebagai “Suster Kargo” pada tahun 2018 silam. Apalagi kabar hari ini, Senin (27/5/2019) yang kuperoleh dari sobat relawan, Jenni La Amo mengungkapkan bahwa jumlah jenazah PMI asal NTT semakin bertambah, terhitung dari Januari hingga Mei 2019 yakni 49 jenazah. Jumlah yang fantastis di pertengahan tahun 2019. 
Ternyata human trafficking masih tidak berhenti! 
Masih segar di ingatanku saat pertama kali pesawat mendarat dengan sempurna di landasan pacu Bandara El Tari Kupang, NTT pukul 14.00 WITA pada April 2018. Ada rasa lega yang memenuhi jantungku ketika menyadari langkah terayun mantap menuruni anak tangga di lapangan yang sangat luas. Rambutku beracakan kian kemari terhembus angin panas yang memberikan salam selamat datang di "Provinsi Jenazah". 

Bandara El Tari Kupang, NTT

Kedatanganku disambut hangat oleh salah seorang suster yang konsen dalam penanganan human trafficking, Suster Laurentina PI. Aku segera dibawa ke biara dan harus segera terbiasa dengan kehidupan di balik tembok raksasa. 
Pada keesokan harinya, aku dibangunkan oleh suara riuh dari dapur pada pukul 04.30 WITA. Benar saja, kulihat suster sudah membolak balik sayuran di wajan. Aku merasa sedikit bersalah karena telat bangun (tidak apa-apa, masih penyesuaian). Kulihat para suster yang lainnya sedang sibuk menata meja makan dan juga membereskan peralatan misa di kapel. Segera kuambil kesibukan lain untuk membantu satu dari sekian pekerjaan pagi ini. 
Tepat pukul 05.00 WITA, beberapa jenis sayuran dan lauk pauk sudah terhidang di meja makan. Kuhitung banyaknya piring, sendok dan garpu di atas meja makan. Suster segera mempersilahkanku untuk mandi dan mempersiapkan diri mengikuti misa pagi di kapel. 
Pukul 05.30 WITA misa dimulai. Kunikmati nyanyian pagi yang dikumandangkan merdu oleh para suster dan umat dalam misa harian selama pelayananku di tempat ini.  
Usai misa, kami sarapan bersama dengan beberapa orang suster dan pater yang memimpin misa. Makan di biara tentu diawali dan diakhiri dengan ritual doa. Aku masih menggunakan teks doa para suster karena belum menghapalkannya. Setelah makan pagi, kami segera bersiap-siap melakukan aktivitas selanjutnya, bermisi membantu menangani karya sosial di kerasulan Anti Human Trafficking YSPI. 
Dalam tugas perdana ini, aku diajak oleh Suster Laurentina PI menuju ke salah satu desa terpencil di Kupang, Desa Batuna namanya. Dengan merental mobil seharga Rp. 50.000 per jam, kami menempuh perjalanan yang cukup terjal, mendaki, menurun, berliku dan beberapa kali terguncang ketika ban mobil hampir tidak sanggup melewati susunan batu karang. 
Ternyata masih banyak jalan di daerah pelosok yang belum tersentuh aspal. Untung saja roda mobil dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar saat melintasi batu karang.
Di tengah perjalanan, seorang pendeta dari Sinode Gereja Masehi Injili Timor (Gemit), Oma Emmy ikut bergabung bersama kami. Perempuan yang aktif di Divisi Advokasi Perlindungan Korban dan Perdamaian Bencana Alam di daerah NTT ini merupakan sahabat baik Suster Laurentina PI dalam menangani korban human trafficking hingga ke desa desa di NTT. 
Ia tersenyum ke arahku dan duduk di kursi depan di samping supir. Perjalanan tetap berlanjut ke Desa Batuna. Kedatangan kami disambut hangat oleh Bupati Kupang, Titu Eiki dan kelompok Taruna Desa Batuna. 
Bupati kemudian membuka secara resmi acara sosialisasi bersama Suster Laurentina PI dan Oma Emmy. Dalam acara sosialisasi yang dipelopori oleh pemuda-pemudi Karang Taruna Desa Batuna, dipaparkan bahaya laten human trafficking yang kerap menimpa penduduk NTT khususnya di Desa Batuna yang menduduki urutan tertinggi sebagai korban. 
 
Bupati Kupang, Titu Eiki (baju orange) dan narasumber

Kelompok ini secara sadar ingin memerangi human trafficking dengan menggandeng  tim koalisi NTT, pemuka agama, tokoh adat, Kepala Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Kepala Dinas Kepemudaan hingga Bupati Kupang untuk duduk bersama mendiskusikan penanganan kasus perdagangan orang di NTT. 

Melalui seminar dan kampanye Stop Human Trafficking, semua peserta yang berjumlah kurang lebih 50 orang dibagi dalam 3 kelompok. Mereka sepakat untuk menolak human traficking dengan mencari penyebab dan upaya konkret yang bisa dilakukan dalam menanganinya.
Secara umum, berdasarkan hasil diskusi kelompok, dapat dipetakan bahwa permasalahan human trafficking karena ketidakpahaman masyarakat akan pekerjaan yang ditawarkan. Mereka (tentu saja) menerima tawaran bekerja ke luar negeri walaupun tak mengetahui secara pasti jenis pekerjaan yang akan dilakukan. Faktor selanjutnya disebabkan keluarga (orangtua dan sanak saudara). Demi mendapatkan uang, meskipun dalam jumlah sedikit, mereka tega memberikan anak atau saudaranya kepada orang lain sekalipun tidak dikenal. 

Parahnya, perangkat desa juga kurang cermat dan justru ikut andil dalam praktik penerbitan dokumen palsu si calon PMI. Akibatnya banyak warganya yang menjadi korban, menderita, bahkan terpaksa pulang dalam kondisi sakit parah hingga tidak bernyawa. 

Para peserta seminar Desa Batuna
Seluruh peserta seminar akhirnya sepakat untuk mendukung gerakan Karang Taruna yang merupakan organisasi pemuda pemudi setempat untuk melawan perdagangan orang guna menekan jumlah korban PMI di luar negeri. Rencananya,  mereka akan mendaftarkan organisasinya guna memiliki payung hukum yang kuat untuk menyuarakan suara rakyat kepada pemerintah setempat. 
Usai sosialisasi, kami berfoto bersama dan segera berpamitan karena ingin berkunjung ke IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change) di Jl R W Mongonsidi II, No 2 Kelurahan Kelapa Lima Pasir Panjang, Kupang. Tempat penelitian ini merupakan perkumpulan para aktivis NTT yang memiliki perhatian pada penanganan kasus human trafficking
Kami disambut langsung oleh Ketua Koordinator IRGSC, Dominggus Elcid Li dengan hangat. Setelah berbincang lama seputar human trafficking, kami segera berpamitan dan melanjutkan perjalanan ke Seminari Kupang di Biara Karmelit Claretian. Kami mengunjungi Pater Viani CMF yang baru saja mengalami kecelakaan di jalan raya saat mengendarai sepeda motor pada Senin yang lalu, usai memimpin perayaan misa di kapel susteran PI. Tangan kanannya patah sehingga sulit beraktivitas. 
Setelah itu, kami kembali ke susteran, mandi dan santap malam bersama. Kami juga berdoa malam bersama di kapel bersama para suster dan anak asrama puteri yang dikelolah oleh para suster YSPI. 
Secara mendadak pada pukul 21.30 WITA kami harus siaga menjemput jenazah dari Malaysia yang akan tiba di Kargo Bandar El Tari Kupang. Aku dan Suster Laurentina PI segera mengendarai sepeda motor melewati jalanan terjal menuju lokasi. 
Hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk dapat sampai di kargo. Sesampainya di sana kami bersabar menunggu jenazah yang dijadwalkan akan tiba pukul 23.30 WITA. Kami segera menemui keluarga yang berduka untuk menguatkan mereka. Di sana juga sudah berkumpul koalisi Peduli Migran NTT Oma Pendeta Emy Sahertian dan Mama Pendeta Ina (perwakilan dari GEMIT), Diakon Adnan dan beberapa aktivis kemanusiaan lainnya yang setia dalam menjalankan misi pelayanan Kargo untuk menyambut korban perdagangan manusia yang pulang ke tanah air dalam bentuk jenazah. 

Suasana penjemputan jenazah PMI di Kargo Bandara El Tari Kupang pukul 22.30 WITA

Semua jenazah yang kembali ke tanah air melalui Kargo El Tari Kupang akan disambut dalam doa oleh kaum religius dan aktivis kemanusiaan Kupang. "Pelayanan Kargo" ini merupakan usaha untuk memanusiakan mereka (PMI) yang pulang dalam peti jenazah dan menunjukkan kepada dunia bahwa mereka juga secitra dengan Allah dan harus disambut secara manusiawi. 
Hal ini sesuai dengan Surat Paus Fransiskus poin ke 46 bahwa program reintegrasi penanganan korban human trafficking yang harus selalu memasukkan dimensi spiritual sebagai unsur penting perkembangan manusia seutuhnya, yang merupakan tujuan utama mereka. Dimensi spiritual ini harus sepenuhnya terjalin  dalam  tindakan dari semua organisasi yang berilham katolik dan berbasis agama yang dengan murah hati melayani para penyitas perdagangan manusia.
Proses pengurusan dan pengeluaran jenazah dari Kargo ternyata memakan waktu yang lama karena jika pesawat telah tiba di bandara, seluruh barang penumpang akan terlebih dahulu di keluarkan dari bagasi, kemudian menyusul peti jenazah. Biasanya peti akan di bawa masuk ke kargo menggunakan kereta barang dan dipindahkan ke dalam mobil jenazah, didoakan oleh para religius yang terlibat dalam pelayanan kargo, dibawa ke rumah duka (di garasi RSUD W.Z. Yohanes Kupang) atau langsung ke rumah keluarga untuk disemayamkan. 

Jenazah Marsel Leo disambut dalam doa oleh Pendeta Ina dan Suster Lauentina PI
Jika jenazah berasal dari pulau di luar Kupang, maka jenazah akan menginap selama satu atau dua malam di garasi RSUD. Namun jika lokasi asal jenazah masih berada di pulau yang sama dan masih bisa di tempuh dengan jalur darat, maka akan segera diantarkan ke daerah asal tanpa harus menginap.     
Ketika jenazah atas nama M.L asal Desa Kusa Kec Kuanfatu Kab TTS tiba, keluarga menyambut dengan isak tangis. Peti jenazah di atas kereta kargo segera diangkat oleh 6 anggota keluarga ke dalam mobil ambulans untuk dibawa ke kampung halamannya. Aku berusaha mendokumentasikan proses penyambutan jenazah.
Sebelum jenazah dibawa, Ibu Pendeta Ina segera memimpin doa di depan mobil ambulans yang terbuka di depan keluarga. Proses mendoakan jenazah ini merupakan "Pelayanan Kargo" yang disepakati oleh kaum religius (Kristen Protestan dan Katolik) Kupang sebagai tanda penghormatan bagi PMI bahwa mereka yang kaku dalam peti merupakan citra Allah yang harus dihormati dan disambut dalam kasih dan doa. Mereka bukan barang! Ini merupakan upaya memanusiakan manusia.   

Keluarga Marsel Leo menyambut dalam isak tangis kepedihan
Bulu kudukku sedikit merinding ketika mencoba mengabadikan beberapa foto dalam suasana penjemputan jenazah di malam hari yang dingin. Mungkin wajar, karena ini merupakan pengalaman pertama dalam penjemputan jenazah. Isak tangis keluarga yang bergaung memecah kesunyian malam sedikit merobek hatiku. Apalagi ketika mengetahui bahwa jenazah meninggal karena luka gigitan anjing beberapa waktu lalu dan tidak segera mendapatkan pengobatan. Lokasi perkebunan sawit Malaysia tempatnya bekerja sangat jauh dari kota sehingga sulit mendapatkan akses kesehatan. 
Usai berdoa, pintu ambulans segera ditutup. Sirene mulai dibunyikan dan melaju meninggalkan kargo bersama iringan mobil rombongan keluarga. Kargo mendadak sepi. Aku bahkan bisa menghitung dengan jariku orang-orang yang tersisa. 
Kami kembali melewati jalanan yang masih dipenuhi pepohonan besar tanpa penerangan lampu jalan. Berbekal cahaya lampu motor, kami mampu melewati jalanan batu karang yang terjal menembus angin malam yang berhembus kencang. Sesekali motor kami masuk ke dalam lubang yang tak terlihat olehku. 
Hatiku lega ketika kami tiba di biara pukul 00.32 WITA. Motor segera diparkirkan di halaman belakang biara dan kami segera beristirahat. Aku mengendap-ngendap melangkah ke dalam kamar di ruang asrama yang berada di belakang biara. Kuusir rekaman seputar penjemputan jenazah di kargo ketika menyadari bahwa kamarku merupakan satu-satunya kamar yang terisi diantara 15 kamar lainnya di asrama baru. 
Kupasrahkan diriku hanya ke dalam tangan pengasihan-Nya malam ini. Kudoakan jenazah yang kami jemput hari ini agar tenang dalam cahaya abadi bersama Bapa di surga dan keluarga diberi ketabahan. 
***