Sunday, May 12, 2019

Perdagangan Orang Masalah Negara

Yogyakarta-Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Dr. Lukas S. Ispanriarno, MA membuka mata kuliah umum Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta di Ruang III/3 Gedung Bonaventura Program Pasca Sarjana, pada Sabtu (11/5/2019) pukul 10.00 WIB. 

Adapun narasumber pada acara yang bertema “Perdagangan Orang Sebagai Masalah Negara (Sebuah Perspektif dari Nusa Tenggara Timur)” ialah Direktur IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change) Dominggus Elcid Li, Ph.D.  

Dr. Lukas S. Ispanriarno, MA membuka Mata Kuliah Umum
Kasus perdagangan orang, menurut Lukas merupakan masalah yang tak kunjung usai di Indonesia. Sangat banyak masyarakat bangsa ini yang menjadi korban perdagangan manusia namun mereka masih belum mampu keluar. Selain itu, tak banyak pihak yang mengetahui bahwa kasus ini sedang terjadi, masih terjadi dan semakin banyak menelan korban. 

“Kita akan membedah persoalan besar bangsa ini bersama seseorang yang menangani kasus perdagangan orang langsung dari akar rumputnya, Nusa Tenggara Timur. Ia merupakan seorang alumnus Ilmu Komunikasi FISIP kampus ini, yang kini sangat gencar menyuarakan suara korban perdagangan manusia dengan rekan-rekan aktivis lainnya. Mari kita aktif terlibat sebagai seorang akademisi yang ingin mengetahui permasalahan ini dan kita bedah dalam mata kuliah umum pagi ini,” ujarnya sembari memberikan panggung bagi narasumber. 

Elcid, sapaan akrabnya, mengaku sudah sangat lama terjun dalam penanganan kasus perdagangan orang yang menimpa sebagian besar orang asal NTT.

“Korban perdagangan orang yang paling besar di Indonesia berasal dari NTT. Mari kita lihat peta ini. Dari seluruh wilayah NTT, orang Dawan dan orang Sumba Tengahlah yang sebagian besar direkrut untuk diperdagangkan,” ujarnya sambil menampilkan peta wilayah NTT.

Direktur IRGSC Dominggus Elcid Li, Ph.D.
Menurutnya, ada banyak faktor yang sangat kompleks melatarbelakangi maraknya kasus perdagangan orang di NTT terhitung sejak ia meneliti tahun 2014, yakni mulai dari tingkat kemiskinan yang tinggi (pendapatan rata-rata yang sangat rendah), tingkat pendidikan yang rendah (tidak bisa baca tulis), proses administratif kependudukan yang kacau balau (banyak orang yang tidak mendapatkan KTP), budaya berpesta yang menjurus pada perilaku konsumtif (gengsi kalau tidak bisa membuat pesta), posisi negara yang semakin kosong dan ketidakmampuan negara dalam penegakan hukum (tumpul keatas namun tajam kebawah).   

“Berdasarkan penelitian kami, dalam hal ini saya bilang kami karena ada banyak pihak yang turun tangan, bahu-membahu membantu penanganan korban, kemiskinan adalah penyebab utama seseorang menjadi korban perdagangan manusia. Mereka tidak punya pilihan untuk bertahan hidup, tidak ada pekerjaan, tidak punya lahan untuk digarap dan kalaupun ada lahan akan sangat sulit mendapatkan air di musim kemarau. Sangat gersang. Satu-satunya pilihan adalah bekerja keluar  ketika tawaran itu datang memang datang,” ujarnya.

Menurutnya, ketika seseorang dalam kondisi tidak berdaya, lapar dan miskin sangat mudah dipengaruhi dan dijadikan  target perdagangan manusia. Para mafia akan sangat mudah merekrut korbannya ke desa-desa yang sangat sulit dijangkau dengan hanya memberikan persenan kepada para calo lapangan yang bersentuhan langsung dengan para korban. Tak heran, rantai pertama perdagangan orang adalah keluarga.

“Takkan ada orang yang menolak uang ratusan hingga jutaan ketika ditawarkan dalam kondisi lapar demi mengisi perut. Korban yang hanya diberikan dua ratus ribu atau satu juta akan gampang tergiur karena tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Mereka akhirnya dipekerjakan ke luar negeri, ketika tiba disana, mereka disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi, sama seperti kasus kekerasan yang dialami migran asal NTT, Adelina Sao yang meninggal dunia di Malaysia dengan kondisi luka parah disekujur tubuhnya dan kurang gizi,” ujarnya.

Namun berdasarkan penuturannya, Adelina Sao tak jua mendapatkan keadilan hukum meskipun sudah meninggal dunia. Majikannya dibebaskan secara sepihak oleh pemerintah Malaysia sekalipun ia terbukti sebagai aktor dari pembunuhan kejam seorang Migran dari Timur Tengah Selatan.  

“Tahun 2018 ada 105 jenazah migran yang dipulangkan ke tanah air dan hanya 3 dari antaranya yang prosedural. Mereka adalah korban dari rantai perdagangan orang yang melibatkan orang dekat dan biasanya struktur jaringan ini terputus. Mereka dikirim tanpa dokumen identitas yang jelas. Ketika kami berhasil menyelamatkan korban perdagangan orang dari luar negeri dan dipulangkan ke daerah asalnya, maka kami akan berusaha membongkar membongkar para mafianya dan korban mengaku bahwa pelakunya adalah kerabat dekatnya dan si korban tidak mau bersaksi di pengadilan karena takut saudaranya di bui. Ini yang sangat sulit, kasus terhenti begitu saja,” keluhnya.

Kesulitan dalam menuntaskan rantai perdagangan orang, menurutnya karena UU TPPO dan UU Ketenagakerjaan tidak langsung beririsan. UU TPPO No. 21/2007 belum banyak dikenal oleh para penegak hukum. Selain itu, sangat disayangkan bahwa Indonesia tidak memiliki database korban perdagangan orang.

“Kalaupun berhasil mengumpulkan semua bukti-buktinya dan sangat mungkin untuk memberatkan si pelaku dengan Undang-undang TPPO, namun kerap kali gagal karena si pelaku merupakan oknum dari institusi tertentu. Tak heran kalau yang diseret ke penjara hanya para suruhan yang merekrut di lapangan, kerabat korban yang juga korban dari sebuah iming-iming, bukan otak dari para mafia itu,” ujarnya lagi.

Di akhir sesi, ia menampilkan video dokumenter Kabar dari Medan yang berisi kesaksian dari para korban asal NTT yang masih dibawah umur dan dipekerjakan di sebuah ruko tempat menghasilkan sarang walet.

Peserta Mata Kuliah Umum UAY tentang Perdagangan Orang sebagai Masalah Negara

“Data sangat penting karena data adalah kunci sehingga bisa digunakan untuk memperdalam sebuah kasus tetapi film juga tak kalah pentingnya karena lebih bersifat reflektif,” ujarnya. Dari video tersebut diketahui praktik perdagangan manusia yang melibatkan oknum dari kepolisian sehingga kasus tersebut sulit untuk dibongkar. Para korbannya yang sebagian besar masih di bawah umur dipekerjakan selama 24 jam dengan siksaan secara fisik dan psikis hingga menewaskan dua orang.

Sebelum menutup sesi, para peserta aktif terlibat dalam diskusi dari bulir-bulir pertanyaan yang ditujukan kepada narasumber. Semua pertanyaan, saran dan kritik yang disampaikan terhadap pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab atas kasus ini semakin menambah nilai diskusi dan juga menambah pengetahuan para peserta. 

 
Dominggus Elcid Li, Ph.D. menerima cenderamata dari UAY 
Sebelum menerima cenderamata dari civitas akademika, ia menekankan perlu ada suatu perubahan baru dan langkah konkret yang serius oleh semua pihak terkhusus pemerintah untuk menekan jumlah korban perdagangan manusia dengan menciptakan lapangan pekerjaan, perbaikan sistem pendidikan dan perbaikan sistem administratif kependudukan. Di samping itu, dukungan dari para peserta yang sudah mengetahui kasus ini juga sangat diperlukan guna mengawal penanganan kasus perdagangan orang sebagai masalah negara.    

"Perlu mengerjakan ulang negara dengan menempatkan penderitaan warga sebagai fulcrum pengetahuan, melakukan dekonstruksi ulang atas pengertian negara yang sudah terlanjur hanya dimengerti dalam pengertian liberal yakni tali temali institusi semata, memahami bahwa warga negara adalah kunci dan pemegang kedaulatan," tutupnya.