Friday, September 13, 2019

Sosialisasi Di Kapela Santo Yoseph Oelnaimuti

 Laporan Jeni Lamao, relawan Sahabat Insan di Kupang


Minggu, 8 September 2019. Kami memulai pagi ini dengan sarapan nasi dan mie kuah. Om Roni, supir rental yang akan mengantar kami belum tiba, jadi kami memeriksa kembali barang-barang yang akan di bawa hari ini.  Hari mulai terang saat akhirnya Om Roni muncul. Ia mengeluh karena dari pukul 05.20 WITA ia menunggu kami di depan pintu gerbang yang masih terkunci, sampai ia tertidur pulas dan tersadar saat suster menghubunginya. Padahal aku sempat memeriksa mobil putih yang terparkir karena Suster Rita, PI memberitahukan bahwa ada mobil di depan, namun saat ku panggil tidak ada yang menyahut, jadi ku pikir itu hanya orang yang sekedar memarkir. Nyatanya Om Roni tertidur.

jalan rusak
Kabel, in-fokus, speaker, kami masukkan dalam bagasi mobil. Laptop sudah kumasukkan dalam tas, barang-barang yang lain pun sudah. Anak-anak yang lain juga sudah siap dengan botol air masing-masing. Baiklah, perjalanan menuju Desa Naunu siap di mulai. Sekali lagi, aku harus mengatakan “My Trip My Adventure,” di perjalanan kali ini. Doa Salam Maria juga lolos dari bibirku. Tersesat sebanyak tiga kali, dengan jalan rusak yang tidak layak untuk dilalui mobil, masuk hutan keluar kebun orang, abu beterbangan, dan panas yang membuat gerah, itulah perjalanan yang kami lalui di hari ini. Awalnya kami akan bersama dengan Pater Deus OCD, kami bahkan menunggu di depan Kantor Bupati Kupang selama hampir setengah jam, namun karena Pater Deus terlalu lama kami memutuskan untuk jalan terlebih dahulu bermodalkan arahan dari Pater.

Dan hal itulah yang terjadi. Pertama kami tersesat di hutan. Untungnya ada seorang bapak yang akan ke kebunnya melihat kami dan memberitahukan bahwa untuk ke Kapela Santo Yoseph memang bisa melewati jalan ini, namun tidak bisa dilalui dengan mobil kecuali dengan jalan kaki. Itu pun akan memakan waktu yang lama. Namun meskipun tersesat, Suster Laurentina, PI menemukan berkat-nya tersendiri. Bagi Suster pemandangan hutan yang mengering dan hitam karena terbakar ini adalah suatu karya Ilahi yang indah. Tak urung beberapa foto dengan Suster sebagai objeknya aku ambil. Namun bagiku ini menyedihkan sekali, karena di tengah kekeringan seperti ini, jika salah membuang puntung rokok maka kebakaranlah yang terjadi. Beberapa pohon yang aku lihat bahkan setengahnya hangus, setengahnya masih hijau. Tempat tersesat kami yang pertama ini adalah daerah perbukitan, semakin naik ke atas pemandangannya semakin cantik. Puncak gunung Fatule’u terlihat jelas di sebelah kanan dan di kirinya hamparan terasering kering memanjakan mata. Di bawah naungan langit biru, kami turun perlahan kembali ke perkampungan.

Tempat tersesat yang kedua, kami masuk kebun orang. Di kebun itu ada pohon pisang dan ubi. Karena saat ini musim panas dan tidak ada sumber air terdekat, maka tidak ada sayur yang ditanam. Tidak ada jalan lagi di depan alias buntu. Mobil di putar balik, kami kembali ke jalan beraspal. Ada sebuah kapela kecil nan sederhana di pinggir jalan. Di kapela itu sedang berlangsung Misa, namun itu bukanlah kapela yang kami cari. Aku sempat bertanya kepada seorang laki-laki yang mengikuti misa dan berdiri di luar karena sudah tidak ada tempat duduk di dalam. Bapak tersebut mengatakan kami harus berbelok kiri jika menemukan cabang jalan untuk sampai di kapela Santo Yoseph Oelnaimuti. Segera ku beritahukan kepada suster dan Om Supir dan kami pun melanjutkan pencarian kapela Santo Yoseph. Di daerah ini, sama sekali kami tidak bisa mengharapkan Google Maps. Google Maps hanya berguna di daerah perkotaan, di sini lebih baik untuk bertanya kepada masyarakat.

Menuju kapela Santo Yoseph Oelnaimuti tidaklah mudah. Medan yang ditempuh lebih cocok jika menggunakan mobil Jeep. Namun mau sesulit apapun tetap harus terus jalan. Ku anggap ini sebagai pengalaman yang akan bagikan kepada orang terkasih. Ada satu waktu saat kami harus melewati tanjakan, tanjakan ini tidak rata dan berbatu, jalan hanya cukup untuk satu mobil, dan tidak ada seorang pun selain kami di situ. Di samping kanan kiri jalan hamparan luas bekas kebakaran menghitam yang cukup mengganggu indra penglihatan. Om Roni, selaku supir professional menyuruh kami yang duduk di belakang untuk turun. Mobil akan membelakangi tanjakan, dan menaikinya dengan bagian belakang terlebih dahulu. Luar biasa, bukan? Sudah ku bilang akan banyak cerita yang akan ku bagikan.


Dan tempat tersesat kami yang ketiga adalah adalah di dekat tempat tinggal Pater Deus OCD. Kami sudah mengikuti arahan Pater Deus, namun tidak menemukan pondok yang pater bilang. Sampai kami ke tempat antah berantah, dari kejauhan aku melihat sebuah pondok. Sedikit tidak yakin apakah itu pondok yang dimaksud pater. Kami kembali harus turun, karena mobil tidak bisa melewati jalan yang berlubang, Om Roni akan memakai strategi yang sama dengan yang supaya mobil bisa naik. Kami semua sudah kelelahan, berharap secepatnya bisa menemukan rumah pater dan bisa segera ke kapela. “Mau tanya juga, gak ada siapa-siapa.” suara Suster Laurentina PI terdengar, mengundang tawa. Memang tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada sebuah bangunan tua tanpa penghuni dan tak terurus yang sempat kami lewati. Ada beberapa pohon yang diikat kain merah, lalu ada penanda jalan anak panah yang dipaku di pohon. Kami yakin masuk tempat antah berantah ini karena tanda tersebut pada akhirnya tersesat lagi. Baru saja mobil berputar, suara motor terdengar. Di tengah kesunyian padang sabana ini memang suara sekecil apapun akan terdengar. Seorang laki-laki muda datang, ia berhenti di depan mobil. Aku menemani Om Roni yang sibuk mengatur strategi agar mobil bisa naik tanjakan, sedang yang lain mencari kesibukannya sendiri.
“Mau pi mana om?” ia bertanya.
“Kami mau pi Kapela Santo Yoseph, tapi sonde tau jalan.” Aku yang menjawab.
“Oh ini salah jalan, kapela di bawah sana.” Tangannya mengarah pada jalan di samping bangunan tua. Kami tadi sempat melewati jalan itu namun akhirnya putar balik karena melihat tidak ada jalan, namun nyatanya ada jalan kecil di depannya.
“Tapi kita ke rumah Pater Deus dulu, baru ke kapela.” Kata Suster Laurentina, PI. 

Anak muda laki-laki itu kemudian menuntun kami ke rumah Pater Deus, OCD. Dari jalan yang kami lalui ternyata pondok rumah Pater Deus tertutupi oleh pohon dan berada di dataran yang lebih tinggi sehingga kami tidak lihat. Yang langsung terpikirkan saat melihat hamparan kering dari rumah pater adalah harus foto. Ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Tempat ini mengingatkanku dengan Sabu, kampung ibu-ku yang juga merupakan padang sabana. Jika musim hujan maka terlihat seperti karpet hijau yang membentang dari ujung ke ujung, namun jika kekeringan maka tidak berbeda jauh dengan yang aku lihat sekarang ini. Tapi tetap saja enak di pandang.

Kami sampai di rumah Pater Deus bertepatan dengan kedatangan Pater. Ia datang bersama seorang suster, namanya Suster Leni dan keluarga dari Pater Deus, kakak perempuan bersama suami dan anaknya. Kami menghela napas sejenak dan turun dari mobil, lalu membantu mengangkat barang-barang dari mobil Pater Deus. Ada beberapa snack yang dibawa dan dibagi dua: untuk umat dan untuk Pater Deus makan bersama keluarga. Kami lalu menuju kapela Santo Yoseph Oelnaimuti dengan mobil Pater Deus. Mobil milik pater adalah jenis double cabin sehingga dengan mobil pater lebih mudah sampai ke kapela. Karena sekali lagi, untuk ke kapela kami bergoyang tanpa musik karena jalannya yang rusak, berbatu dan banyak tanjakan. Sebuah Sekolah Dasar kami lewati, lalu berhenti di dua rumah untuk menaikkan umat yang akan mengikuti misa. Semakin ramai di atas mobil.

Setelah perjalanan yang memakan waktu sekitar sepuluh menit, akhirnya kami sampai di puncak bukit yang di atasnya berdiri gagah Kapela Santo Yoseph Oelnaimuti. Umat sudah banyak yang hadir dan mereka menunggu dengan sabar. Segera kami turun dan menurunkan semua barang-barang yang ada di atas mobil, termasuk sebuah genset. Daerah Oelnaimuti sampai sekarang belum ada listrik. Masing-masing dari kami mempersiapkan diri, hati dan batin untuk mengikuti misa pada pagi menjelang siang hari ini. "Allah-ku, terimakasih atas tuntunan-Mu. Kami sudah tiba dengan selamat di Kapela Santo Yoseph Oelnaimuti. Biarlah hati dan pikiranku selalu tertuju pada-Mu. Amin.’ Sebuah doa ku panjatkan sebelum mengikuti perayaan Ekaristi.

Selesai perayaan Ekaristi, Pater Deus mempersilakan Suster Laurentina, PI untuk memulai sosialisasi. Aku dan tim segera mempersiapkan in-fokus dan speaker. Genset yang sudah dinyalakan dan kabel yang saling berhubungan satu sama lain menunjang kegiatan sosialisasi oleh suster Laurentina, PI di siang hari ini. Aku bertugas mengganti slide, sedangkan yang lainnya bertugas sebagai fotografer, satu memegang handphone suster dan yang lainnya memegang handphoneku.



Sosialisasi yang disampaikan oleh Suster Laurentina PI sama dengan materi sosialisasi sebelumnya, namun meskipun persiapan sudah dilakukan sebaik mungkin ada saja yang terlupakan. Dan kami melupakan microphone sehingga Suster mengandalkan suara kecilnya untuk menyampaikan. Ia harus melawan suara anak-anak kecil yang memang kehadirannya lebih banyak dari orang dewasa. Sosialisasi ditutup dengan memutarkan video wajib yang berjudul 'Kabar dari Medan", yang selalu berhasil membuatku menahan tangis. Beberapa pemudi OMK dan ibu-ibu yang menyaksikan dengan penuh penghayatan tak kuasa menahan gejolak emosional. Pandangan ku alihkan pada Suster yang memperhatikan. Setetes air mata yang jatuh dipipiku segera ku hapus. Sudah berulang kali aku menonton video ini namun selalu aku menangis juga.


Sesi sosialisasi berakhir dan seperti biasanya Suster Laurentina, PI meminta kepada umat untuk memberitahukan jika ada keluarga yang pergi merantau ke Negeri Jiran dan tidak ada kabar sampai sekarang. Satu laporan masuk dari seorang ibu, sebuah buku kecil dan sebatang pena ku sodorkan kepada ibu itu, guna menuliskan nama dan data yang lain. Hanya saja ia tidak tahu alamat keluarga-nya itu di Malaysia yang sudah pergi sejak tahun 2002 silam. Suster memberikan nomornya dan meminta mengirimkan foto dari saudara ibu itu. Wajahnya penuh harapan, seolah menemukan keyakinan baru dalam hati kembali bertemu dengan saudaranya. Semoga setitik harapan itu menjadi kenyataan.

Pembagian Rosario
Sampailah pada saat yang ditunggu-tunggu, terlebih oleh umat pastinya yaitu pembagian Rosario. Mereka mengantri dengan sabar saat Suster memakaikan Rosario di leher mereka. Aku membantu memilah dan memberikan Rosario kepada Suster Laurentina PI. Beberapa orang tidak kebagian, dan Suster berjanji akan menitipkan Rosario pada Pater Deus untuk diberikan kepada mereka yang belum dapat.



Foto di depan Kapel
Setelah foto bersama di depan kapela, sambil membunuh waktu menunggu Pater Deus yang pergi melihat mata air, Suster bercerita dengan anak-anak kecil yang duduk dekat suster. Mereka terlihat malu-malu dengan segala kepolosan yang tercetak jelas di wajah. Setelah itu, kami berpamitan kepada umat yang masih bertahan di kapela. Seorang bapak lanjut usia yang buta dan dua orang oma yang masih setia mendampingi kami ku berikan salam. Aku senang bisa bertemu dan melihat mereka, semoga mereka pun merasakan hal yang sama.

Kami kemudian kembali ke rumah Pater Deus dengan naik mobil. Angin di atas bukit bertiup kencang, cukup kuat dan membuat kami sedikit goyah. Segera kami masuk ke dalam rumah untuk menyimpan barang-barang yang kami bawa. Sebuah lopo di belakang rumah menjadi tempat kami beristirahat. Setelah mendapatkan kembali tenaga, kami menuju dapur dan melihat kakak dari Pater Deus memotong sayur. Kami tergerak untuk membantu, namun sayangnya kami tidak bisa terlalu lama di situ dan harus segera pulang karena Suster Laurentina PI ada rekoleksi dengan para suster. Kami berpamitan dengan Pater Deus dan keluarga, memasukkan peralatan ke bagasi mobil dan melaju perlahan menuruni bukit yang kali ini jalan yang kami lalui lebih baik dari yang pertama. Di atas mobil kami mengisi perut dengan nasi bungkus yang dibeli di sebuah Rumah Makan Padang.

Pukul 15.00 WITA kami tiba di Biara Susteran PI Nasipanaf. Alat-alat yang kami bawa untuk sosialisasi segera kami masukkan ke kantor dan kemudian kami masuk ke kamar untuk beristirahat.  

Allahku, di akhir hari ini, aku menghadap-Mu. Mengingat kembali kemurahan-Mu di sepanjang hari ini. Engkau memberikan semangat, kekuatan dan kegembiraan dalam bekerja juga ketenangan di malam hari ini. Bertemu orang baru dan mendapat pengalaman baru. Rahmat-Mu ya Bapa, tiada yang menandingi. Berjalan bersama-Mu dalam hari ku merupakan kenikmatan bagiku. Biarlah terang-Mu besok pagi dapat aku lihat. Amin.