Wednesday, July 6, 2022

Aksi Damai 1000 Lilin Untuk Korban Kemanusiaan

Tanggal 2 Juli 2022 pukul 18.00 diselenggarakan  kegiatan Aksi Damai 1000 Lilin Bagi Korban Kemanusiaan yang dilaksanakan di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur. Aksi ini digelar untuk menentang putusan bebas majikan Adelina Sau/Adelina Lisao sekaligus memperingati Hari Anti Penyiksaan Dunia. Adelina Sau/Adelina Lisao adalah seorang PMI asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga di Malaysia. Ia disiksa dan diperlakukan seperti binatang oleh majikannya, Ambika MA Shan di Malaysia hingga kemudian meninggal dunia secara mengenaskan pada 11 Februari 2018. Proses persidangan terhadap majikan Adelina berlangsung tarik ulur di Malaysia hingga pada 23 Juni 2022 Mahkamah Tinggi Malaysia menjatuhkan putusan bebas pada majikannya. Berbeda dengan proses peradilan di Indonesia sindikatnya malah telah terpenjara. Dalam kegiatan hari ini Jeni Laamo, relawan Sahabat Insan, dipercayakan sebagai pemandu acara. Sebelum acara dimulai, dinyanyikan lagu-lagu perjuangan untuk menambah semangat ratusan peserta aksi yang hadir di sana.  

Mengawali acara sore itu, Suster Maria Elisabet Funan, RVM memimpin doa pembukaan dan dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai rasa hormat dan cinta akan negara Indonesia. Selanjutnya, Mama Emmy Sehartian selaku koordinator kegiatan menyampaikan sambutannya kepada peserta sekaligus mewakili suara hati dari Keluarga Adelina Sau yang tidak bisa hadir dalam kegiatan ini 

“Betapa sulitnya mendapat keadilan, kadang suara kita dibawa angin. Tidak ada yang benar-benar dengar.” Menurut Mama Emmy, Nusa Tenggara Timur, baik dalam keluarga maupun di ruang publik harus melindungi perempuan dan anak. Kalau tidak maka kita adalah bagian dari penindasan itu. Kalau orang NTT diam, maka dia menjadi bagian dari itu. Kita tidak boleh diam karena itu adalah perjuangan kemerdekaan negara Indonesia. Mama Emmy juga mengungkapkan kasus pembunuhan terhadap ibu dan anak, Astri Manafe (30) dan Lael (1) di Penkase pada Desember lalu. Menurutnya kasus penyiksaan terhadap peremuan dan anak di NTT itu sangat tinggi dan dalam aksi seribu lilin ini juga akan mendoakan korban pembunuhan tersebut sekaligus memperingati semua korban kemanusiaan.

Setelah itu, para peserta aksi bersama-sama menyanyikan lagu Darah Juang dan dilanjutkan dengan suara hati dari korban Perdagangan Manusia, Mama Mariance Kabu.



“Saya tidak bisa diam. Saya harus berbicara.” ungkap mama Mariance Kabu yang berusia 40 tahun. Ia 
 korban TPPO pada tahun 2015 lalu. Dalam acara ini ia menyampaikan suara hatinya saat bekerja di Malaysia selama kurang lebih delapan bulan dan mengalami penyiksaan oleh majikannya. Meskipun demikian dengan berani Mariance Kabu berbicara di depan warga Kota Kupang yang melakukan aksi damai.

“Apa yang saya alami saya tidak akan lupa sampai saya mati. Saya dibuat bisu, saya disiksa habis-habisan.” Kalimat itu diungkapkan dengan suara yang bergetar oleh Mariance Kabu. Meskipun penderitaan yang dialami sungguh menyakitkan, namun ia tetap harus bersuara demi sesama dan demi keluarganya. Untuk Indonesia khususnya Nusa Tenggara Timur, Mariance Kabu berpesan tetap maju untuk membuka keadilan serta menghindari menutupi sebuah kebohongan.

“Kita harus berjuang terus walaupun ada yang merantau dan tidak merantau kita berjuang untuk bisa mandiri. Dalam diri pribadi diri kita sendiri kita berperan, apapun yang tidak bisa digunakan, itu di bilang sampah tapi sampah itu bisa buat dia menjadi emas.” tutup Mariance mengakhiri kisahnya.

Usai suara hati dari Mama Mariance Kabu dilanjutkan dengan puisi yang dibawakan oleh Suster Ervin, RVM yang berjudul Perdagangan Manusia. Dilanjutkan dengan suara hati dari Pater Selestinus Panggara, CMF mewakili Solidarita Clarat. Ia mengungkapkan bahwa perdagangan manusia tidak dibenarkan oleh semua agama, oleh karena itu kerjasama antara umat beragama itu sangat penting untuk dilakukan dan salah satu aksi nyata adalah melalui aksi-aksi damai seperti ini. Menyetujui hal itu, Tini, seorang mahasiswi muslim mewakili Rumah Milineal Indonesia yang turut berpartisipasi dalam Aksi Damai dan menyuarakan hatinya terkait kasus-kasus TPPO yang seolah tidak ada habisnya.

Ada 24 organisasi aliansi yang bergabung dalam kegiatan ini diantaranya yaitu Jaringan Solidaritas Kemanusiaan IRGSC, JRUK Kupang, Komunitas Hanaf, Rumah Milenial Indonesia, Sekolah Harmoni Kupang, Garda BMI NTT, LMID Eksekutif Kota Kupang, Sahabat SOlidaritas Perempuan NTT, JPIC Divina Providentia, SBMI Indonesia-NTT, Rumah Harapan GMIT, Organisasi Perubahan Sosial Indonesia-Kupang, Talithakum Kupang, YKBH Justitia NTT, Rumah Perempuan Kupang, LMND Kota Kupang, Komunitas RVM, Senat Mahasiswa Unwira, KNPI NTT, GMKI Kupang, PMKRI Kupang, Padma Indonesia dan Kompas Kohati. Puisi dan orasi diisi oleh alinasi-aliansi yang disebutkan tadi dan diselingi dengan nyanyian-nyanyian perjuangan. Selain itu dalam aksi ini juga mengadakan deklarasi tuntutan aksi serta doa bersama saat lilin dinyalakan. Puisi-puisi yang bertemakan perjuangan dan ketidakadilan yang dialami oleh para PMI di luar negeri dibawakan oleh para peserta aksi dan dilakukan dengan piawai.  Dalam orasi, dengan tegas aliansi meminta agar pemerintah menegakkan keadilan terhadap kasus-kasus kemanusiaan yang terjadi di NTT dan yang dialami oleh orang NTT. 

Meskipun angin bertiup dengan kencang dan sangat sulit untuk menyalakan lilin, peserta mengakalinya dengan membentuk lilin seperti api unggun sehingga menghasilkan nyala yang lebih besar dan tidak padam. Peserta aksi yang awalnya membentuk lingkaran besar berubah menjadi lingkaran kecil untuk melindungi nyala lilin dari angin. Peserta untuk hening dan dengan tetap menjaga lilin dari terpaan angin yang begitu kencang untuk mendoakan korban-korban kemanusiaan yang selama ini berjuang untuk mencari keadilan di tanah gersang yang begitu dicintai. 


Di akhir acara, peserta dan aliansi menyuarakan dengan lantang deklarasi tuntutan. Koordinator Lapangan Aksi Damai mendeklarasikan tuntutan aksi kepada pemerintah daerah dan pusat NTT yang terdiri dari 9 aksi tuntutan. Pada poin ke-8 dan ke-9 aksi tuntutan dibacakan bersama oleh peserta aksi yang bergenggaman tangan seolah menempa kekuatan dari masing-masing orang di sebelahnya. Deklarasi dilakukan di tangga Kantor Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berikut adalah 9 aksi tuntutan masyarakat NTT:

  1. Menuntut pemerintah Indonesia menghentikan sampai batas waktu yang tidak ditentukan, pengiriman calon pekerja migran Indonesia ke Malayasia
  2. Mengecam putusan bebas majikan Adelina Sa’u dan meminta pemerintah Indonesia melalui Kemenlu untuk melakukan lobi politik guna meninjau adanya kemungkinan peninjauan kembali kasus Adelina
  3. Meminta kejelasan atas status hukum Mariance Kabu
  4. Menuntut perlindungan penuh bagi pekerja migran Indonesia di negara penempatan
  5. Menuntut pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur untuk meninjau kembali Surat Keputusan 14 November 2018 tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia/Pekerja Migran Indonesia asal NTT ke Luar Negeri
  6. Menuntut profesionalitas Kemenlu dalam penanganan kasus hukum pekerja migran asal Indonesia di Malaysia
  7. Mendesak Kemenlu bekerja sama dengan atase terkait di Malaysia untuk menangani pekerja migran yang ditahan di pusat tahanan sementara Sabah-Malaysia
  8. Menuntut Viktor Bungtilu Laiskodat mundur bila tidak mampu menangani perdagangan orang di NTT
  9. Menuntut kepastian hukum atas kasus-kasus perdagangan orang yang masih mangkrak di POLDA NTT.

Satu lagu dikumandangkan usai deklarasi ini yaitu lagu berjudul Rumah Kita. Para peserta menyanyikannya bersama-sama dengan tangan yang terus bergandengan. Perjuangan tidak usai di sini, perjuangan akan terus berlanjut sampai keadilan ditegakkan. Segala usaha, daya, dan upaya akan dikerahkan demi keadilan itu. Menutup rangkaian acara, Pater Seles memberikan Berkatnya di akhir acara ini. Semoga Allah Bapa Sang Penyelenggara Ilahi, yang berkuasa atas ciptaan-Nya, memampukan kita untuk terus melangkah dalam ketidakpastian hidup ini. Amin.