Friday, May 3, 2024

Pembekalan Untuk Pencegahan, Penanganan, dan Pendampingan Korban TTPO


Untuk membangun kepedulian biarawan/biarawati serta umat yang aktif dalam komunitas gereja dan masyarakat serta mengajak mereka untuk menjadi agen perubahan dengan meningkatkan pemahaman, kepekaan dan kepedulian serta tanggap dalam menghadapi situasi dan persoalan kejahatan perdagangan orang, Talitha Kum Indonesia Jaringan Jakarta bekerja sama dengan Sahabat Insan menyelenggarakan kegiatan pembekalan untuk para bruder, suster, pengurus Seksi Keadilan Perdamaian Paroki dan para aktifis kemanusiaan.

Kegiatan yang dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu, 27-28 April 2024 di Pusat Pastoral Samadi Klender ini, diikuti oleh 60 peserta yang terdiri dari 19 orang biarawan dan biarawati, 24 orang guru, 12 orang awam dan 5 orang dari komunitas peduli masalah TPPO.  


Suster Irena Handayani, OSU membuka acara ini dengan memperkenalkan Talitha Kum yang merupakan jaringan internasional para biarawati yang berpusat di Roma dan memiliki misi utama untuk menghentikan  perdagangan manusia yang akhir-akhir ini marak terjadi. Di Indonesia sendiri, para biarawati juga membentuk Talitha Kum Indonesia yang saat ini sudah ada di 9 keuskupan. Suster Irena juga  menjabarkan tujuan diadakannya pembekalan  ini, yaitu untuk meningkatkan  pengetahuan tentang TPPO sehingga peserta akan dapat menjadi agen perubahan karena telah diberikan pemahaman, kepekaan dan kepedulian serta tanggap dalam menghadapi situasi dan  persoalan kejahatan perdagangan orang.

Romo Ismartono melanjutkan dengan menyampaikan pandangan teologis dan spiritualitas tentang perdagangan orang yang merupakan panduan pastoral bagi penanganan perdagangan manusia. Romo Ismartono mengutip 2 ayat dari Al-Quran maupun Alkitab yang sama-sama menyebutkan bahwa iman harus diwujudkan dengan perbuatan nyata dalam bentuk melayani sesama, dan disanalah kita melayani Tuhan. 


Romo juga mengajak semua peserta untuk membaca buku Arah Pastoral tentang perdagangan manusia. Dalam buku ini Paus Fransiskus mengatakan bahwa "perdagangan orang adalah pelecehan mengerikan terhadap manusia, dan Gereja ingin melindungi, mendampingi dan membebaskan mereka dari jerat itu. Siapakah Gereja? Adalah kita semua umat Allah yang bersama-sama ikut merasakan penderitaan itu. 

Paus Fransiskus juga berbicara bahwa seringkali kita secara tidak langsung juga ikut mendukung tindakan perdagangan manusia, misalnya dengan tindakan membeli barang semurah-murahnya. Barang murah tersebut jangan-jangan adalah hasil kerja para buruh migran yang digaji rendah. "Baiklah bila manusia menyadari bahwa membeli itu merupakan sebuah tindakan moral – dan bukan semata-mata bersifat ekonomis. Karenanya konsumen memiliki tanggung jawab sosial tertentu, yang berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial perusahaan.” (buku Arah Pastoral no 33, Halaman 34). 


Romo Ismartono juga membahas tentang stigma atau sebutan kepada para korban perdagangan manusia. Seringkali kita saat menolong atau menemui korban secara tidak sadar selalu menyebut mereka 'buruh migran', "korban perdagangan manusia". Sekali-sekali masih boleh disebut demikian, namun jangan terus menerus memanggil seperti itu, karena itu akan menjadi identitas baru dari orang tersebut dan membuat mereka semakin terluka. Maka akan lebih baik kita menyadarkan mereka bahwa mereka juga manusia yang juga dicintai. Kita harus memanusiakan manusia.

“Dialog berdasarkan rasa percaya diri dapat membawa benih-benih kebaikan yang pada gilirannya dapat menjadi tunas persahabatan dan kerja sama di berbagai bidang, terutama dalam pelayanan kepada orang miskin, paling kecil, orang lanjut usia, dengan menyambut para migran dan memperhatikan mereka yang dikucilkan. Kita bisa berjalan bersama saling menjaga satu sama lain dan sesama ciptaan” (buku Arah Pastoral no 40, Halaman 40). Jadi ketika kita ketemu korban yang secara ilmiah disebut korban, kita sebagai orang beriman yang mencintai mereka, yang perlu dilakukan pertama adalah dialog, supaya benih kebaikan yang ada pada korban dibangun dan disegarkan kembali. 

Selanjutnya, para pembicara mulai memberikan materinya masing-masing, yaitu: gambaran umum TPPO yang disampaikan oleh IOM Indonesia, prinsip umum dan ketrampilan dasar dalam pendampingan korban TPPO, membangun kesadaran publik tentang kejahatan perdagangan orang oleh jurnalis KOMPAS, tantangan dan perjuangan untuk melawan kejahatan lintas batas oleh Kemenlu, serta beberapa kesaksian dari para penyintas. 

Setelah selama 2 hari menerima materi dari berbagai sudut pandang, maka di sesi akhir para peserta diminta untuk menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang akan dilakukan oleh masing-masing kelompok atau komunitas. Secara umum, dengan bekal materi yang telah diterima selama 2 hari ini, masing-masing akan membuat sosialisasi tentang bahaya TPPO di tempat masing-masing, dengan tujuan agar semakin banyak orang yang sadar akan bahaya kejahatan kemanusiaan ini.

Seluruh rangkaian acara ini ditutup dengan Misa yang dipersembahkan oleh Romo Ignatius Ismartono, SJ.