Sunday, June 16, 2019

Jenazah Ke-19

#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (14)  

Tampaknya tak ada kata weekend untuk menjemput kedatangan jenazah yang datang pada hari ini, Sabtu (30/6/2018). Aku sangat memahami bahwa dalam menjalankan tugas dan karya Anti Human Trafficking aku harus selalu siap sedia. Sering juga jenazah datang secara tiba-tiba dengan pemberitahuan yang sangat mendadak bahkan saat jenazah sudah berada di kargo dan tidak ada yang menangani, sama seperti peristiwa hari ini.

“Kak, handphone kakak berdering tuh,” ucap Iga, keponakan suster yang membantuku membersihkan halaman biara untuk digunakan oleh OMK (Orang Muda Katolik) di acara Nusra Youth Day se-Nusa Tenggara. 

Aku segera berlari ke kamar dan mengangkatnya. 
“Halo selamat pagi suster, ada apa?” tanyaku.

“Kamu dimana? Di biara kan? Kamu segera menuju ke kargo karena ada jenazah yang sudah tiba disana.”

“Jenazah? Dari mana suster?” tanyaku sambil menyeka keringat.

“Tidak ada waktu menjelaskan, segera keluarkan sepeda motor dan pergi ke Kargo.”

Aku segera bersiap dan meluncur seorang diri ke Kargo Bandara El Tari Kupang karena Suster Laurentina PI sedang bertugas di luar daerah. Saat tiba di Kargo, jenazah sudah berada di mobil jenazah dan sedang menunggu kedatangan keluarga. Kudekati peti dan kulihat dokumen yang tertempel di peti atas nama YD.

Berdasarkan informasi dari BP3TKI, jenazah YD sudah bekerja selama 4 tahun di Malaysia dan belum pernah kembali ke tanah air. Ia meninggalkan dua orang putera yang berumur 10 tahun dan 7 tahun serta seorang isteri yang juga sama-sama bekerja di Malaysia. 
Meskipun isteri masih dalam perjalanan dari Malaysia ke Kupang, namun pihak keluarga yang berdomisili di Kupang segera membawa peti jenazah ke rumah duka di Jl Nangka, Kupang. Aku bersama Pendeta Emy dan juga Pendeta Ina segera melesat ke rumah duka mengikuti ambulans dengan menumpang mobil Disnakertrans. Ternyata mobil salah satu media yakni TVRI juga mengikuti iring-iringan ambulans hingga ke rumah duka.
Media TVRI meliput penjemputan jenazah YD di Kargo Bandara El Tari Kupang
Rumah duka yang kami tuju merupakan rumah dari saudara (om kecilnya) YD. Mereka masih satu keluarga dekat dan sangat terbuka dengan kedatangan jenazah YD. Sesampainya di rumah duka, peti dimasukkan ke ruang tamu dan didoakan oleh Oma pendeta Emy beserta keluarga. Usai berdoa, seorang mama yang sedari tadi menangis mulai berkata-kata.
“Perkenalkan, saya Adri. Jenazah memanggil tante kepada saya karena dia adalah keponakan saya. Jujur saya tidak mengingat lagi bagaimana wajah si jenazah karena sudah sangat lama sekali tidak bertemu,” ucapnya sesekali menyeka air matanya dan memandang peti jenazah keponakannya. 
“Setahu saya, YD merupakan anak ke 4 dari 13 bersaudara, yakni 1 wanita dan 12 pria” ujarnya lagi. 
Ia mengakui bahwa jenazah YD pergi lewat jalur tidak resmi membawa serta sang isteri. Semua dokumen diurus oleh ayah kandung isteri (mertua). Sepasang kekasih ini terpaksa meninggalkan kedua buah hatinya untuk diurus di kampung bersama pihak keluarga isteri.
“Sebenarnya masih ada pergolakan untuk penguburan almarhum karena antara isteri dengan pihak keluarga ponakan kami ini masih memperdebatkan lokasi penguburan jenazah,” ujarnya. 
Menurutnya, sang isteri menginginkan suaminya dikubur di kampungnya di Rote Tengah, sementara pihak keluarga besar suami bersih keras menguburkan di kampung halamannya di Rote Selatan.
“Entahlah, masih bingung mau dibawa kemana jenazah ini. Belum ada kata sepakat. Kita sedang menunggu kedatangan sang isteri dari Malaysia yang akan tiba di Kupang siang ini. Mungkin sebentar lagi karena beberapa menit lalu ia memberitahu bahwa pesawatnya sudah mendarat di bandara,” ujarnya. 
Benar saja, tidak lama kemudian, suara tangis seorang wanita yang merupakan isteri jenazah, tumpah di depan peti jenazah. Meskipun baru tiba, tangisnya terdengar amat pilu. Wanita yang memiliki kulit sawo matang dan badan yang sangat kurus itu terkulai lemas di atas kursi. 
“Tolong ambilkan air panas untuknya,” ucap mama itu kepada anak gadisnya.
Terlihat seorang wanita membawakannya minuman hangat, namun ia menolak. Pandangannya menerawang sangat jauh. Sorot matanya penuh beban. Kuamati gerak geriknya dalam diam. Tampaknya ia sangat terluka, seakan tak bisa disembuhkan. 
Jenazah YD tiba di rumah keluarga di Kupang sebelum di berangkatkan ke Rote
Seketika wanita yang juga tiba bersama dengannya menceritakan tabiat buruk pria yang berusia 39 itu. 
“Saya kenal kehidupan mereka di Malaysia karena kami merupakan tetangga di sana. Semasa hidupnya, suaminya selalu menghambur-hamburkan uang untuk membeli minuman keras seperti alkohol,” ujarnya.
Menurutnya, sang isteri tidak pernah bisa menyimpan uang sedikitpun demi memenuhi kebutuhan minuman keras suaminya. Namun disaat yang bersamaan, ia selalu mengeluh sakit pada bagian kaki, tangan dan perut. 
“Sering kram juga pada bagian perutnya,” ujarnya. 
Sebelum meninggal, almarhum YD meminta diurut karena kakinya sakit. Lalu majikan membawanya ke klinik kesehatan Beluru dan ia menghembuskan nafas terakhirnya disana. 
Aku hanya terdiam mendengarkan kesaksian wanita itu sambil memandangi isterinya yang masih termenung di samping peti. 
“Pantas saja mama ini kurus kering,” gumamku dalam hati. 
Dalam jeritannya yang sempat tertumpah beberapa menit lalu, terbersit ribuan duka yang tak bisa dijelaskan. Tak ada pilihan selain mengikhlaskan sang suami pergi untuk selama-lamanya. 
Aku hanya bisa mengelus punggung isterinya yang sangat kurus itu ketika hendak meninggalkan rumah duka. Berharap bahwa bisa sedikit menenangkannya. Tak ada yang bisa kulakukan selain mendoakan yang terbaik untuk arwah jenazah dan keluarga yang ditinggalkan. Rencananya jenazah akan dikirim ke Rote pada Minggu (1/7/2018) pukul 04.00 WITA melalui jalur laut dan biaya ditanggung oleh keluarga. 
Sekali lagi, setiap penjemputan jenazah selalu menyimpan kisah dibaliknya. Ada kepedihan, luka dan perasaan tertekan dalam diri mama yang kehilangan suaminya ini. 
***