Sunday, June 30, 2019

Ditimpa Alat Berat, Jenazah PMI Kembali ke Tanah Air

#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (25)
 
Hari ini, Kamis (30/8/2018) aku segera berangkat ke Kargo Bandara El Tari Kupang untuk menyambut kedatangan dua jenazah atas nama RMK (39) asal Kampung Woromboa RT 004 RW 002 Sanggarhorho, Nangapanda, Kab Ende dan DN (49) asal Larantuka. 

Keluarga jenazah DN segera datang memenuhi kargo bandara. Mereka datang sekitar 20 orang karena mengaku masih memiliki hubungan darah denganya. Sementara tak satupun yang menyambut jenazah RMK. 

Jenazah DN dan RMK tiba di Kargo Bandara El Tari Kupang, NTT
Suster Paulina dari kongregasi Salib Merah segera memimpin doa sebelum kedua jenazah dihantar menginap satu malam di RSUD W.Z. Yohanes Kupang. Semua anggota keluarga tertunduk menahan sedih di tengah terik matahari yang menyengat. Suhu udara Kupang di musim kemarau memang sangat kering hingga ke tenggorokan. Apalagi dalam suasana duka yang dialami keluarga terasa ke tenggorokan, menjalar ke rongga dada, memanas di dalam hati. Doa selesai dipanjatkan, pintu ambulans tertutup rapat dan mobil melaju menuju tempat persemayaman sementara. 

Pada pukul 18.00 WITA, aku segera berangkat ke RSUD W.Z. Yohanes Kupang untuk mendoakan jenazah seorang diri. Sesampainya disana, pukul 18.35 WITA belum ada teman-teman jaringan yang kutemui. Lampu garasi kamar jenazah yang tidak dinyalakan menambah kengerian di sekelilingku. Belum lagi ada tangisan duka yang kudengar dari kamar jenazah yang bersebelahan dengan ruang garasi tempat jenazah PMI transit menunggu pemberangkatan selanjutnya. 

Pukul 19.10 WITA hatiku cukup lega saat melihat mama pendeta Ina datang bersama sang suami. Tak lama setelah itu, pihak keluarga jenazah DN segera datang memenuhi garasi jenazah. Doa dipimpin langsung oleh mama pendeta Ina berdasarkan tata acara agama Kristen Protestan. 

Ruang Garasi Jenazah PMI sebagai tempat persemayaman sementara sebelum diberangkatan ke daerah asal

Usai berdoa, aku tak segera pulang melainkan menunggu suster Paulina yang telah memberikan kabar bahwa sedang dalam perjalanan dari Naibonat menuju ke RSUD W.Z. Yohanes Kupang. 

Sembari menunggu kedatangan suster, aku ngobrol dengan keluarga berduka diterangi oleh pencahayaan lilin duka. Ternyata pihak keluarga RMK, FE baru tiba dari Malaysia sore tadi di Kupang untuk menghantar jenazah secara langsung hingga ke kampung halaman.

Jenazah RMK dikabarkan meninggal karena kecelakaan kerja. FE mengaku bahwa RMK di timpa alat berat saat kerja sebagai kuli bangunan yang jatuh dari lantai 5. Akibat kecelakaan itu, kakinya patah,  badannya penuh dengan lebam dan ia harus kehilangan nyawanya untuk selamanya. Menurut FE, RMK sudah bekerja di Malaysia selama 20 tahun dan sudah kawin (tanpa menikah)  dengan seorang janda (Cina Jakarta) di Malaysia selama kurang lebih 11 tahun. Namun meskipun sudah hidup bersama, mereka belum dikaruniai anak. 

"Isterinya sangat terpukul dengan kejadian ini. Ia sangat sayang pada RMK, " ujarnya. 

Sementara itu, jenazah atas nama DN meninggal karena Hypertension related desease pada Selasa (28/8) pukul 04.30 pagi. Menurut GK (pihak keluarga), jenazah sudah lama mengalami sakit darah tinggi dan kencing manis. 

"DN ini sudah lama sakit. Mungkin karena letih bekerja di ladang sawit dan makan kurang teratur, maka kesehatannya semakin terganggu dan penyakitnya semakin menjadi," tutur GK.

Menurut keterangan GK, semasa hidupnya DN sudah bekerja selama kurang lebih 17 tahun di Malaysia dan meninggalkan anak serta isterinya di kampung halaman. Meskipun demikian,  pria yang memiliki 3 anak ini beberapa kali menyempatkan untuk pulang ke kampung halaman di Solor untuk bertemu dengan keluarga. 

"Ia sesekali pulang ke kampung. Kemaren ia pulang beberapa bulan untuk bangun rumah di kampung. Selesai bangun rumah, ia kembali ke Malaysia, "ujarnya lagi. 

Setidaknya kisah DN menunjukkan ia adalah satu dari seribu kisah duka PMI yang berhasil membangun rumah di kampung halaman, namun pulang dalam bentuk jenazah. 

Ketika Suster Paulina tiba di RSUD Yohanes pukul 19.55 WITA, aku segera pamit meminta izin untuk kembali ke biara. Ia mengizinkan dan menginformasikan bahwa Romo Adnan Pr yang baru ditahbiskan 3 bulan lalu akan datang memberikan misa pada keluarga malam ini. 

Sesampai di biara, aku berharap semoga semua yang telah kami lakukan dalam mengurus PMI hidup dan meninggal berkenan dihati-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan serta arwah jenazah DN dan RMK di terima oleh sang Khalik.

Pada Jumat (31/8/2018) aku kembali mengantar dua jenazah RMK dan DN di kargo. Namun setibanya disana, tak ada satupun kaum religius dan jaringan koalisi anti human trafficking NTT yang ada di kargo. Hanya ada keluarga dari kedua belah pihak yang duduk menunggu kereta jenazah di ruang jenazah. 

Aku melangkah sendirian, tanpa Suster Laurentina PI, menuju ruang jenazah. Niatku untuk mendoakan mereka (jenazah PMI) semakin bulat saat kusadari bahwa hanya aku yang datang mewakili teman-teman jaringan yang lainnya.

Jenazah DN dan RMK di berangkatkan ke daerah asal melalui Keberangkatan Kargo
Biasanya selalu ada pastor, suster, pendeta atau teman-teman jaringan koalisi yang selalu siap melepas keberangkatan jenazah. Mungkin kali ini memang harus aku sendirian. Meskipun demikian, aku bersyukur Tuhan memampukanku berkata-kata dengan kuasa roh kudus mendoakan mereka (para jenazah) di depan keluarga yang berduka mewakili kaum religius kargo dan juga para jaringan koalisi peduli migran NTT. Suaraku sedikit menggelegar saat kuserukan kedua nama PMI.

“Mari kita serahkan kedua saudara kita ini melalui doa yang diajarkan Yesus Kristus kepada kita yakni 1 kali Bapa Kami dan 3 kali Salam Maria,” ujarku.

“Terimakasih karena sudah memampukanku Tuhan,” gumamku saat kuakhiri doa dengan tanda salib.

Saat peti jenazah akan diangkat menuju ke mesin X-Ray,  ada sedikit permasalah di kargo terkait peti jenazah atas nama RMK yang menurut maskapai terlalu besar dan berat. Menurut perwakilan BP3TKI, Pak Stef, pihak maskapai tidak mau rugi ketika meloloskan kondisi peti jenazah yang banyak memakan tempat.

Cukup lama kami menunggu kepastian lolos dari pihak maskapai untuk mengangkut jenazah meskipun pada akhirnya jenazah bisa diangkut dan masuk ke dalam mesin X-Ray. Sepertinya sudah ada pembicaraan khusus antara pak Stef dengan pihak kargo yang tak kuketahui. 

Syukurlah semua bisa berjalan dengan baik. Hal yang terpenting adalah jenazah bisa dimuat di kargo dan kembali ke kampung halaman untuk di kuburkan oleh keluarga secara layak. 

Ketika peti jenazah sudah lolos masuk ke dalam kargo melalui mesin X-Ray, aku segera berpamitan dengan keluarga. Mereka menyalamiku dan berterimakasih padaku. Aku membalas dengan senyuman dan mengucapkan turut berbelasungkawa kepada mereka sembari berbisik dalam hati "Tuhan semoga tak ada lagi duka di tanah ini, Tanah Cendana."


 ***