Monday, June 17, 2019

Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2019



Pesan Paus Fransiskus untuk 
Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2019



'Ini bukan hanya tentang migran'


27 MEI 2019 16: 00 TEKS STAFF PAPAL ZENIT


Berikut ini adalah naskah Pesan Bapa Suci Fransiskus untuk Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2019, yang akan diadakan pada 29 September mendatang, dengan tema: "Ini bukan hanya tentang migran":


PESAN DARI BAPA SUCI
Ini bukan hanya tentang migran


Saudara dan saudari yang terkasih,

Iman meyakinkan kita bahwa secara misterius Kerajaan Allah sudah ada di dunia ini (lih. Gaudium et Spes, 39). Namun di zaman kita sekarang, kita sedih melihat rintangan dan perlawanan yang terjadi. Konflik kekerasan dan perang habis-habisan terus menghancurkan umat manusia; ketidakadilan dan diskriminasi  silih beganti; ketidakseimbangan ekonomi dan sosial pada ukuran lokal atau global terbukti sulit diatasi. Dan lebih dari semua itu, mereka yang termiskin dan paling tidak beruntung yang menanggung dampaknya.

Masyarakat yang paling maju secara ekonomi memberi kesaksian akan kecenderungan yang berkembang menuju individualisme ekstrem, yang dikombinasikan dengan mentalitas utilitarian dan diperkuat oleh media, menghasilkan “globalisasi ketidakpedulian”. Dalam skenario ini, para migran, pengungsi, orang-orang terlantar dan korban perdagangan manusia telah menjadi tanda pengucilan. Selain kesulitan yang ditimbulkan oleh kondisi mereka, mereka sering dipandang rendah dan dianggap sebagai sumber segala penyakit masyarakat. Sikap itu merupakan peringatan yang mengingatkan kita akan kemerosotan moral yang akan  kita hadapi jika kita terus mengandalkan budaya membuang itu. Bahkan, jika terus berlanjut, siapa pun yang tidak termasuk dalam norma-norma kesejahteraan social, mental dan fisik  yang diterima, berada dalam bahaya  mengalami peminggiran  dan pengucilan.

Oleh sebab itu,  kehadiran para migran dan pengungsi - dan orang-orang rentan pada umumnya - adalah undangan untuk memulihkan beberapa dimensi hakiki keberadaan Kristiani dan kemanusiaan kita yang dalam masyarakat yang makmur terancam untuk diabaikan. Itulah  sebabnya bahwa ini bukan hanya tentang  migran. Ketika kita menunjukkan kepedulian kepada mereka, kita juga menunjukkan kepedulian terhadap diri kita sendiri, kepedulian bagi semua orang; dalam merawat mereka, kita semua bertumbuh; dengan mendengarkan mereka, kita juga menyuarakan diri kita yang mungkin  kita tetap menyembunyikannya karena pada jaman ini hal itu tidak dihargai.

Kuatkanlah hatimu, inilah Aku, jangan takut!” (Mat 14:27). Ini bukan hanya tentang  migran: ini juga tentang ketakutan- ketakutan kita. Tanda-tanda kekejaman yang kita lihat di sekitar kita meningkat kan “ketakutan kita terhadap 'liyan', yang tidak kita kenal, yang dipinggirkan, orang asing… Khusus sekarang ini, kita dihadapkan kepada migran dan pengungsi yang mengetuk pintu kita untuk mencari perlindungan, keamanan dan masa depan yang lebih baik. Dalam batas tertentu, ketakutan itu masuk akal, juga karena kurangnya persiapan untuk menemui mereka ”(Homili di Sacrofano, 15 Februari 2019). Tetapi masalahnya bukan kita ragu dan takut. Masalahnya adalah ketika mereka mengkondisikan cara berpikir dan bertindak kita sehingga kita menjadi  tidak toleran, tertutup, dan bahkan mungkin - tanpa menyadarinya - rasis. Dengan cara ini, ketakutan menghalangi kita dari keinginan dan kemampuan untuk bertemu dengan liyan, orang yang berbeda dari diri saya; itu membuat saya kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Tuhan (lih. Homili dalam Misa untuk Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, 14 Januari 2018).

"Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihimu , apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?”(Mat 5:46). Ini bukan hanya tentang migran: ini tentang kasih. Melalui karya amal kasih, kita menunjukkan iman kita (lih. Yak 2:18). Dan bentuk amal kasih  tertinggi adalah yang ditunjukkan kepada mereka yang tidak dapat membalas dan mungkin bahkan berterima kasih kepada kita sebagai balasannya. “Ini juga tentang wajah yang ingin kita tunjukkan kepada masyarakat kita dan tentang nilai setiap kehidupan manusia ... Kemajuan masyarakat  kita ... terutama tergantung pada keterbukaan kita untuk disentuh dan digerakkan oleh mereka yang mengetuk pintu kita. Wajah mereka menghancurkan dan menolak semua berhala palsu yang dapat mengambil alih dan memperbudak hidup kita; berhala-berhala yang menjanjikan kebahagiaan semu dan sesaat yang buta terhadap kehidupan dan penderitaan orang lain ”(Ceramah kepada Caritas Keuskupan Rabat, 30 Maret 2019).

“Tetapi seorang musafir Samaria yang datang kepadanya tergerak oleh belas kasihan ketika melihatnya” (Luk 10:33). Ini bukan hanya tentang migran: ini tentang kemanusiaan kita. Belas kasih memotivasi orang Samaria itu – yang bagi orang Yahudi adalah orang asing - untuk tidak lewat begitu saja. Belas kasih adalah perasaan yang tidak dapat dijelaskan hanya secara  rasional semata-mata. Belas kasih menyentuh lubuk hati manusia yang paling dalam sehingga menimbulkan dorongan kuat untuk "menjadi sesama” bagi semua orang yang kita temui sedang berada dalam kesulitan. Seperti yang Yesus sendiri ajarkan kepada kita (lih. Mat 9: 35-36; 14: 13-14; 15: 32-37), berbelas kasih berarti mengakui penderitaan orang lain dan mengambil tindakan segera untuk meringankan, menyembuhkandan menyelamatkan.

Berbelas kasih berarti memberi ruang bagi kelembutan yang oleh masyarakat kita di jaman sekarang sering ditindas. “Membuka diri kepada orang lain tidak membawa kita pada pemiskinan, tetapi lebih pada pengayaan, namun lebih dari pada  itu justru memungkinkan kita untuk menjadi lebih manusiawi: untuk mengenali diri kita sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar dan memahami hidup kita sebagai anugerah bagi orang lain; untuk melihat bahwa tujuan hidup kita bukan untuk kepentingan kita sendiri, tetapi lebih untuk kebaikan umat manusia ”(Pidato di Masjid Heydar Aliyev di Baku, 2 Oktober 2016).

Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga. (Mat 18:10). Ini bukan hanya tentang migran: ini adalah sebuah pertanyaan  untuk melihat apakah tidak ada seorangpun yang diabaikan. Dunia saat ini semakin menjadi lebih elitis dan kejam terhadap mereka yang tersingkir. Negara-negara berkembang terus kehabisan sumber daya alam dan manusia terbaik mereka demi keuntungan beberapa pasar yang  diistimewakan. Perang hanya berdampak pada  beberapa wilayah di dunia, namun senjata perang diproduksi dan dijual di wilayah lain yang kemudian tidak mau menerima pengungsi yang diakibatkan oleh konflik ini. Yang membayar harganya selalu adalah anak-anak kecil, orang miskin, mereka yang paling rentan, yang dilarang untuk berada di meja dan hanya mendapat sisa “remah-remah” perjamuan (lih. Luk 16: 19-21). “Gereja yang 'maju'… dapat bergerak maju, dengan berani mengambil inisiatif, pergi ke yang lain, mencari mereka yang telah jatuh, berdiri di persimpangan jalan dan menyambut orang-orang yang terbuang” (Evangelii Gaudium, 24). Perkembangan yang tertutup membuat orang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Di lain pihak, pembangunan yang nyata berupaya melibatkan semua laki-laki dan perempuan di dunia ini  untuk mempromosikan pertumbuhan yang utuh dan untuk menunjukkan kepedulian kepada generasi mendatang.

Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”(Mrk10: 43-44). Ini bukan hanya tetang migran: ini tentang menempatkan yang terakhir di tempat yang pertama. Yesus Kristus meminta kita untuk tidak menyerah pada logika dunia, yang membenarkan ketidakadilan bagi orang lain untuk keuntungan diri sendiri atau kelompok sendiri. “Aku dulu, baru kemudian yang lain!” Sebaliknya, semboyan orang Kristiani yang benar adalah, “Yang terakhir adalah yang pertama!” “Roh individualistis adalah tanah subur untuk pertumbuhan ketidakpedulian jenis itu terhadap sesama kita yang cenderung untuk melihat mereka semata-mata dari segi ekonomi, untuk kurangnya kepedulian terhadap kemanusiaan mereka dan akhirnya pada ketakutan dan sinisme. Bukankah ini sikap yang sering kita adopsi untuk  orang miskin, yang terpinggirkan dan yang 'paling kecil' dari masyarakat? Dan berapa banyak dari yang 'paling kecil ' ini yang kita miliki di dalam masyarakat kita! Di antara mereka, saya pikir terutama para migran, dengan beban kesulitan dan penderitaan mereka, karena mereka setiap hari mencari, seringkali dalam keputus-asaan, tempat untuk hidup dalam damai  dan bermartabat ”(Pidato kepada Korps Diplomatik, 11 Januari 2016). Dalam logika Injil, yang datang kemudian menjadi yang terdahulu  dan kita harus menyediakan  diri  untuk melayani mereka.

“Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10). Ini bukan hanya tentang migran: ini tentang  seluruh pribadi manusia, tentang semua orang. Dalam perkataan Yesus, kita menemukan inti dari misi-Nya: untuk melihat bahwa semua menerima karunia kehidupan dalam kepenuhannya, sesuai dengan kehendak Bapa. Dalam setiap kegiatan politik, dalam setiap program, dalam setiap tindakan pastoral, kita harus selalu menempatkan pribadi  manusia sebagai pusat, dalam banyak segi, termasuk  dimensi rohani. Dan ini berlaku bagi semua orang, yang kesetaraan dasarnya harus diakui. Oleh karena itu, “pembangunan tidak dapat dibatasi hanya untuk pertumbuhan ekonomi semata-mata. Agar menjadi sahih, pembangunan harus menyeluruh; pembangunan harus menumbuhkan perkembangan setiap orang dan keseluruhan manusia ”(SANTO PAULUS VI, Populorum Progressio, 14).
  
Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (Ef 2:19). Ini bukan hanya tentang migran: ini tentang membangun kota Tuhan dan manusia. Di jaman kita, yang juga bisa disebut era migrasi, banyak orang tak berdosa menjadi korban “penipuan besar” pengembangan teknologi dan konsumerisme tanpa batas (lih. Laudato Si ’, 34). Sebagai akibatnya, mereka melakukan perjalanan menuju "surga" yang secara tak terelakkan mengkhianati harapan mereka. Kehadiran mereka, terkadang tidak nyaman, membantu  menyanggah mitos kemajuan yang menguntungkan hanya beberapa orang  tetapi dibangun di atas pemerasan banyak orang. “Kita sendiri perlu melihat dan kemudian memungkinkan orang lain untuk melihat, bahwa migran dan pengungsi tidak hanya mewakili masalah yang harus dipecahkan tetapi mereka juga adalah saudara dan saudari yang harus disambut, dihormati dan dicintai. Mereka adalah kesempatan yang diberikan Tuhan Sang Penyelenggara untuk membantu membangun masyarakat yang lebih adil, demokrasi yang lebih sempurna, negara yang lebih bersatu, dunia yang lebih bersaudara dan komunitas Kristiani yang lebih terbuka dan membawa Kabar Gembira (Pesan untuk Hari Migran dan Pengungsi Dunia 2014)).

Saudara dan saudari yang terkasih, tanggapan kita terhadap tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh migrasi jaman ini dapat diringkas dalam empat kata kerja: sambut, lindungi, dukung dan integrasikan. Namun kata kerja ini tidak hanya berlaku untuk migran dan pengungsi. Kata kerja itu menggambarkan misi Gereja untuk semua yang hidup di ambang batas pinggir  keberadaan mereka, yang perlu disambut, dilindungi, didukung dan diintegrasikan. Jika kita mempraktikkan keempat kata kerja itu, kita akan membantu membangun kota Tuhan dan manusia. Kita akan mendukung  pengembangan manusia yang utuh bagi semua orang. Kita juga akan membantu masyarakat dunia untuk semakin dekat dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah ditetapkan untuk dirinya sendiri dan bahwa, tanpa pendekatan semacam itu, akan terbukti sulit untuk dicapai.

Singkat kata, bukan hanya masalah migran yang dipertaruhkan; ini bukan hanya tentang mereka, tetapi tentang kita semua dan tentang masa kini dan masa depan keluarga manusia. Migran, terutama mereka yang paling rentan, membantu kita membaca "tanda-tanda jaman". Melalui mereka, Tuhan memanggil kita untuk bertobat, untuk dibebaskan dari ketertutupan, ketidakpedulian, dan budaya membuang. Lewat mereka, Tuhan mengundang kita untuk memeluk sepenuhnya hidup Kristiani dan ikut ambil peran, masing-masing sesuai dengan panggilannya sendiri, untuk membangun dunia yang semakin sesuai dengan rencana Tuhan.

Dalam mengungkapkan harapan yang penuh doa ini dan melalui perantaraan Perawan Maria, Bunda Dipamarga, saya memohon berkah yang berlimpah dari Tuhan bagi semua migran dan pengungsi di dunia ini dan bagi semua orang yang menemani dalam perjalanan mereka.


Dari Vatikan, 27 Mei 2019

FRANSISKUS

© Libreria Editrice Vatican


============================================================

TEKS ASLI


Pope Francis’ Message for 2019 World Day of Migrants and Refugees

‘It is not just about migrants’

MAY 27, 2019 16:00 ZENIT STAFFPAPAL TEXTS


The following is the text of the Message of the Holy Father Francis for the World Day of Migrants and Refugees 2019, to be held this coming September 29, on the theme: “It is not just about migrants”:


Message of the Holy Father
It is not just about migrants


Dear Brothers and Sisters,

Faith assures us that in a mysterious way the Kingdom of God is already present here on earth (cf. Gaudium et Spes, 39). Yet in our own time, we are saddened to see the obstacles and opposition it encounters. Violent conflicts and all-out wars continue to tear humanity apart; injustices and discrimination follow one upon the other; economic and social imbalances on a local or global scale prove difficult to overcome. And above all, it is the poorest of the poor and the most disadvantaged who pay the price.

The most economically advanced societies are witnessing a growing trend towards extreme individualism which, combined with a utilitarian mentality and reinforced by the media, is producing a “globalization of indifference”. In this scenario, migrants, refugees, displaced persons and victims of trafficking have become emblems of exclusion. In addition to the hardships that their condition entails, they are often looked down upon and considered the source of all society’s ills. That attitude is an alarm bell warning of the moral decline we will face if we continue to give ground to the throw-away culture. In fact, if it continues, anyone who does not fall within the accepted norms of physical, mental and social well-being is at risk of marginalization and exclusion.

For this reason, the presence of migrants and refugees – and of vulnerable people in general – is an invitation to recover some of those essential dimensions of our Christian existence and our humanity that risk being overlooked in a prosperous society. That is why it is not just about migrants. When we show concern for them, we also show concern for ourselves, for everyone; in taking care of them, we all grow; in listening to them, we also give voice to a part of ourselves that we may keep hidden because it is not well regarded nowadays.

“Take courage, it is I, do not be afraid!” (Mt 14:27). It is not just about migrants: it is also about our fears. The signs of meanness we see around us heighten “our fear of ‘the other’, the unknown, the marginalized, the foreigner… We see this today in particular, faced with the arrival of migrants and refugees knocking on our door in search of protection, security, and a better future. To some extent, the fear is legitimate, also because the preparation for this encounter is lacking” (Homily in Sacrofano, 15 February 2019). But the problem is not that we have doubts and fears. The problem is when they condition our way of thinking and acting to the point of making us intolerant, closed and perhaps even – without realizing it – racist. In this way, fear deprives us of the desire and the ability to encounter the other, the person different from myself; it deprives me of an opportunity to encounter the Lord (cf. Homily at Mass for the World Day of Migrants and Refugees, 14 January 2018).

“For if you love those who love you, what recompense will you have? Do not the tax collectors do the same?” (Mt 5:46). It is not just about migrants: it is about charity. Through works of charity, we demonstrate our faith (cf. Jas 2:18). And the highest form of charity is that shown to those unable to reciprocate and perhaps even to thank us in return. “It is also about the face we want to give to our society and about the value of each human life… The progress of our peoples… depends above all on our openness to being touched and moved by those who knock at our door. Their faces shatter and debunk all those false idols that can take over and enslave our lives; idols that promise illusory and momentary happiness blind to the lives and sufferings of others” (Address at the Diocesan Caritas of Rabat, 30 March 2019).

“But a Samaritan traveler who came upon him was moved with compassion at the sight” (Lk 10:33). It is not just about migrants: it is about our humanity. Compassion motivated that Samaritan – for the Jews, a foreigner – not to pass by. Compassion is a feeling that cannot be explained on a purely rational level. Compassion strikes the most sensitive chords of our humanity, releasing a vibrant urge to “be a neighbor” to all those whom we see in difficulty. As Jesus himself teaches us (cf. Mt9:35-36; 14:13-14; 15:32-37), being compassionate means recognizing the suffering of the other and taking immediate action to soothe, heal and save.

To be compassionate means to make room for that tenderness which today’s society so often asks us to repress. “Opening ourselves to others does not lead to impoverishment, but rather enrichment, because it enables us to be more human: to recognize ourselves as participants in a greater collectivity and to understand our life as a gift for others; to see as the goal, not our own interests, but rather the good of humanity” (Address at the Heydar Aliyev Mosque in Baku, 2 October 2016).

“See that you do not despise one of these little ones, for I say to you that their angels in heaven always look upon the face of my heavenly Father” (Mt 18:10). It is not just about migrants: it is a question of seeing that no one is excluded. Today’s world is increasingly becoming more elitist and cruel towards the excluded. Developing countries continue to be drained of their best natural and human resources for the benefit of a few privileged markets. Wars only affect some regions of the world, yet weapons of war are produced and sold in other regions which are then unwilling to take in the refugees produced by these conflicts. Those who pay the price are always the little ones, the poor, the most vulnerable, who are prevented from sitting at the table and are left with the “crumbs” of the banquet (cf. Lk 16:19-21). “The Church which ‘goes forth’… can move forward, boldly take the initiative, go out to others, seek those who have fallen away, stand at the crossroads and welcome the outcast” (Evangelii Gaudium, 24). A development that excludes makes the rich richer and the poor poorer. A real development, on the other hand, seeks to include all the world’s men and women, to promote their integral growth, and to show concern for coming generations.

“Whoever wishes to be great among you will be your servant; whoever wishes to be first among you will be the slave of all” (Mk10:43-44). It is not just about migrants: it is about putting the last in first place. Jesus Christ asks us not to yield to the logic of the world, which justifies injustice to others for my own gain or that of my group. “Me first, and then the others!” Instead, the true motto of the Christian is, “The last shall be first!” “An individualistic spirit is fertile soil for the growth of that kind of indifference towards our neighbors which leads to viewing them in purely economic terms, to a lack of concern for their humanity, and ultimately to feelings of fear and cynicism. Are these not the attitudes we often adopt towards the poor, the marginalized and the ‘least’ of society? And how many of these ‘least’ do we have in our societies! Among them, I think primarily of migrants, with their burden of hardship and suffering, as they seek daily, often in desperation, a place to live in peace and dignity” (Address to the Diplomatic Corps, 11 January 2016). In the logic of the Gospel, the last come first, and we must put ourselves at their service.

“I came so that they might have life and have it more abundantly” (Jn 10:10). It is not just about migrants: it is about the whole person, about all people. In Jesus’ words, we encounter the very heart of his mission: to see that all receive the gift of life in its fullness, according to the will of the Father. In every political activity, in every program, in every pastoral action, we must always put the person at the center, in his or her many aspects, including the spiritual dimension. And this applies to all people, whose fundamental equality must be recognized. Consequently, “development cannot be restricted to economic growth alone. To be authentic, it must be well-rounded; it must foster the development of each man and of the whole man” (SAINT PAUL VI, Populorum Progressio, 14).

“So then you are no longer strangers and sojourners, but you are fellow citizens with the holy ones and members of the household of God” (Eph 2:19). It is not just about migrants: it is about building the city of God and man. In our time, which can also be called the era of migration, many innocent people fall victim to the “great deception” of limitless technological and consumerist development (cf. Laudato Si’, 34). As a result, they undertake a journey towards a “paradise” that inevitably betrays their expectations. Their presence, at times uncomfortable, helps to debunk the myth of a progress that benefits a few while built on the exploitation of many. “We ourselves need to see, and then to enable others to see, that migrants and refugees do not only represent a problem to be solved but are brothers and sisters to be welcomed, respected and loved. They are an occasion that Providence gives us to help build a more just society, a more perfect democracy, a more united country, a more fraternal world and a more open and evangelical Christian community” (Message for the 2014 World Day of Migrants and Refugees).

Dear brothers and sisters, our response to the challenges posed by contemporary migration can be summed up in four verbs: welcome, protect, promote and integrate. Yet these verbs do not apply only to migrants and refugees. They describe the Church’s mission to all those living in the existential peripheries, who need to be welcomed, protected, promoted and integrated. If we put those four verbs into practice, we will help build the city of God and man. We will promote the integral human development of all people. We will also help the world community to come closer to the goals of sustainable development that it has set for itself and that, lacking such an approach, will prove difficult to achieve.

In a word, it is not only the cause of migrants that is at stake; it is not just about them, but about all of us, and about the present and future of the human family. Migrants, especially those who are most vulnerable, help us to read the “signs of the times”. Through them, the Lord is calling us to conversion, to be set free from exclusivity, indifference, and the throw-away culture. Through them, the Lord invites us to embrace fully our Christian life and to contribute, each according to his or her proper vocation, to the building up of a world that is more and more in accord with God’s plan.
  
In expressing this prayerful hope, and through the intercession of the Virgin Mary, Our Lady of the Way, I invoke God’s abundant blessings upon all the world’s migrants and refugees and upon all those who accompany them on their journey.

From the Vatican, 27 May 2019

FRANCIS

© Libreria Editrice Vatican