Friday, June 7, 2019

Kampanye Dalam Kedukaan

#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (8) 
 
Aku selalu menghitung jumlah jenazah yang sudah kujemput bersama suster Laurentina PI dan hari ini Selasa (5/6/2018) kami kembali menjemput jenazah yang ke sembilan. Kali ini jenazah yang dipulangkan sangat mendadak dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Jenazah wanita atas nama LL dipulangkan kembali ke Indonesia setelah bekerja selama 2 tahun di Malaysia.

LL meninggalkan 4 orang anak akibat insiden kecelakaan lalulintas yang merenggut nyawanya saat berkendara bersama dengan suaminya di Papit 7 Sungai Leman, Malaysia pada 1 Juni 2018 pukul 14.00 sore. Akibat geger otak LL meninggal di tempat, sementara suaminya AK yang mengendarai sepeda motor mengalami luka parah pada bagian tangan, kaki dan sedang kritis di rumah sakit. Olehkarena itu AK tidak dapat mengantarkan jenazah isterinya pulang ke tanah air.

Atas permintaan adik ipar korban, NK yang juga bekerja di Malaysia, jenazah segera diotopsi di Rumah Sakit Tanjung Karang, Malaysia dan dilaporkan ke kepolisian untuk segera di urus pemulangannya ke pihak kedutaan.      

Jenazah LL tiba di Kargo Bandara El Tari Kupang, NTT
Berdasarkan keterangan yang dibuat oleh NK, LL dan AK dinyatakan tidak memiliki dokumen yang lengkap sehingga pihak kedutaan tidak bersedia menanggung biaya pemulangan LL. Seluruh biaya pemulangan jenazah LL dari Malaysia menuju ke Kupang ditanggung sepenuhnya oleh pihak keluarga yang ada di daerah asalnya di Desa Alkani, Wewiku, Kabupaten Belu, NTT.

Setelah pihak BP3TKI mendapatkan laporan mengenai pemulangan korban dari Malaysia akan tiba di Kupang, maka perwakilan dari BP3TKI datang menjemput korban ke Kargo Bandara El Tari Kupang dan menghubungi Koalisi Anti Human Trafficking NTT untuk menjemput jenazah di Kargo.   

Ketika jenazah sudah tiba di Kupang, tak ada satupun pihak keluarga yang berada di lokasi. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya suster Laurentina PI memutuskan untuk segera mendoakan jenazah. Ketika doa bapa kami dipanjatkan, pihak keluarga yakni seorang ibu dan seorang nona yang masih remaja mendekati peti dan meraung.

Suster Laurentina PI menyambut jenazah dalam doa
“Oh Tuhan,,,” teriak si ibu tersedu-sedu sambil memegangi jenazah. Sinona tampak memegangi ibunya yang terisak pilu. 

Hatiku kembali tersayat. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan hancur sang suami saat mengetahui sang isteri tercinta telah tiada, sementara ia harus terbaring lemah tidak berdaya di rumah sakit. Pihak keluarga yang di kampung tentu menanti kepulangan jenazah dengan hati yang tak kalah remuknya. Kedua wanita tersebut segera naik ke dalam mobil ambulans. Air mata si nona terus mengalir meskipun tidak bersuara. Tentu hal itu jauh lebih menyakitkan. 

Ketika pintu ambulans sudah ditutup, seorang wanita perwakilan dari salah satu partai yang beratribut kuning berusaha menggapai sang ibu yang sudah berada di mobil ambulans melalui jendela. Ia berusaha memasukkan kepalanya ke dalam ambulans.  

“Mama yang sabar ya,” ucapnya sambil mengelus punggungnya dari jendela ambulans. 

Dengan tatapan turut berduka, ia terlihat berusaha mengorek lebih dalam lagi informasi mengenai jenazah dari ibu yang sudah lemah tak berdaya.

“Kapan jenazah mulai bermigrasi ke Malaysia?”

“Saya tidak tahu pasti. Mungkin sudah 2 tahun yang lalu ia ikut suaminya ke Malaysia,” ujar si ibu sambil menoleh dengan wajah sembab.

“Ah,,, wanita itu tampaknya tidak mengerti situasi dan kondisi. Masih saja menghujani perempuan yang tak berdaya itu dengan ragam pertanyaan. Tidakkah ia bisa sedikit simpatik dengan hanya mengelus punggungnya saja?” celetukku dalam hati.

Keluarga LL mendampingi jenazah di dalam ambulans
Setelah mendapatkan jawaban, Satgas Golkar tersebut segera menutup kembali kaca jendela mobil dan berlalu. Sementara itu mobil ambulans sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju daerah asal jenazah. Sungguh pemandangan yang janggal. Aku kehilangan kata.

“Dia hanya membuka kaca untuk menanyakan hal itu?”

Sementara dari raut wajah ibu yang berduka itu mungkin berharap tindakan lain yang jauh lebih menghibur dibandingkan sekedar pertanyaan basa basi yang justru memuakkan.

Tiba-tiba janji wanita berbaju kuning itu terlintas dibenakku dalam penjemputan beberapa waktu silam saat sedang menunggu kedatangan jenazah PMI dari Malaysia. Ia dengan terang-terangan berjanji di depan halaman Kargo jika ia menang, maka akan memperjuangkan nasib PMI dengan mengusahakan pembuatan asuransi bagi para PMI baik yang berdokumen maupun tidak berdokumen.

Aku hanya berharap dari lubuk hatiku yang terdalam, semoga apa yang ia janjikan dapat diwujudkannya jika (partainya) menang meskipun sebenarnya sangat tidak manusiawi berkampanye dalam suasana duka. Semua sarat kepentingan! Apalagi ditahun politik ini, DUKA bisa menjadi kendaraan untuk mencapai SUKA bagi kelompok tertentu. Miris bukan? Ya, begitulah adanya. Selalu ada kisah dibalik penjemputan jenazah dan kisah kali ini sangat miris.

***