Monday, June 10, 2019

Cerita Duka Penjemputan Jenazah PMI ke-11

#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (9)

Aku dan suster Laurentina PI kembali menjemput jenazah MP berasal  dari Desa Silu, Camplong, Kupang NTT di Kargo Bandara El Tari Kupang pada Selasa (12/6/2018) pukul 22.35 WITA. Ketika tiba di Kargo, keluarga sudah menunggu di sepanjang pagar. Kami segera mendekati keluarga dan berusaha memberikan penghiburan kepada mereka. Berdasarkan keterangan keluarga, jenazah sudah bekerja di Serawag Malaysia selama 5 tahun yakni semenjak tahun 2013.

“Jenazah merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara dan belum menikah,” ujar salah satu pria yang mengaku sebagai anggota keluarga ketika menunggu kedatangan jenazah di Kargo. 

Suster Laurentina PI menghibur keluarga yang menanti kedatangan jenazah MP
Menurut pria itu, ketiga saudaranya yang lain sudah berkeluarga dan memiliki anak.

“Sebelum MP meninggal, kedua kakaknya yang pertama dan kedua sudah terlebih dahulu menghadap sang pencipta. Hanya ada 1 orang saudaranya yang masih hidup, yakni anak paling bungsu, Mama Margaret,” ujarnya sambil menunjuk seorang ibu yang sudah kelihatan berumur yang duduk di balik mobil.

Mama Margaret dan beberapa anggota keluarga yang lainnya sudah menunggu di Kargo Bandara El Tari Kupang sejak pukul 21.00 WITA. Mereka berangkat dengan mobil pickup. Aku mencoba memberanikan diri mendekati mama Margaret untuk memberikan kata peneguhan dan mencari sedikit informasi seputar jenazah.

“Mama permisi, kalau boleh saya tahu, jenazah sakit apa ma?” tanyaku sopan sembari duduk melantai bersamanya. 

“MP meninggal pada 6 Juni 2018 tanpa menderita sakit apapun. Kami  baru mendapatkan kabar pada tanggal 7 Juni melalui Pak Agus, DPR Kupang,” ujarnya.

Berdasarkan keterangan Mama Margaret, MP mulai bekerja di perkebunan sawit Malaysia semenjak tahun 2013 sebagai tulang punggung keluarga.  Pria asal Caplong yang tutup usia 43 tahun ini rutin mengirim uang bulanan untuk menghidupi mamanya yang sudah sangat tua. 

Mama Margaret mengaku masih berkomunikasi dengan beliau pada 27 Mei 2018 lalu untuk yang terakhir kalinya. Ketika kami sedang asyik bercerita dengan keluarga korban, M, salah seorang Satgas partai yang menangani Human Trafficking menyalami keluarga dan memperkenalkan diri. 

“Perkenalkan nama saya M. Kami dan teman-teman yang hadir disini sangat peduli dengan isu Human Trafficking,” ujarnya sambil duduk melantai disampingku. Beberapa waktu terakhir memang sering bertemu ketika sedang menjemput jenazah. Ia selalu mengenakan atribut kuning yang menunjukkan simbol dari partainya. 

Ia mulai bertanya seputar identitas korban sembari menunggu kedatangan jenazah. Namun tiba-tiba ada hal yang cukup mengejutkanku karena tidak sampai 10 menit mengobrol dengan keluarga, ia mulai berkampanye.    

"Eh ngomong-ngomong nih mama-mama, sudah tau mau pilih nomor berapa? Jangan lupa pilih warna kuning ya waktu Pilkada nanti. Tapi harus Kuning nomor 4, karena sekarang banyak warna kuning nih,” ujarnya disela-sela kedukaan. 

Aku tak habis pikir dengan kampanye politik model seperti ini. Suatu cara kampanye yang sangat tidak tepat dan tak seharusnya dilakukan. Dalam kondisi duka, wanita asal Takari ini malah menggunakan momen untuk kampanye. Dimanakah hati nurani? Apakah sudah dibutakan dengan kursi kekuasaan yang sudah semakin menyilaukan dan tinggal hitungan hari? 

“Kalau gubernur pilih nomor berapa? Lah Kok tidak tahu? Tidak adakah calon gunernur yang kesana?" tanyanya lagi memancing jawaban pihak keluarga yang hanya diam membisu. Aku segera pergi menjauh dari kerumunan tempat duduknya dan segera menuju ke gerbang kargo menanti kedatangan jenazah. 

Perwakilan Satgas Partai berkampanye di tengah kedukaan
Akal sehatku masih belum bisa mencerna pertanyaan yang terlontar dari bibir si wanita kuning. Benarkah dalam penjemputan jenazah masih saja ada pihak yang memanfaatkan situasi dan kondisi? Sarat kepentingan! Topeng! Pencitraan!    

Pada pukul 23.51 WITA jenazah akhirnya tiba dengan selamat dan disambut oleh keluarga dengan derai tangis dan air mata. Sesaat aku bergidik ngeri melihat semua orang yang hadir di antara keluarga yakni perwakilan dari BP3TKI, Nakertrans dan juga si wanita yang merupakan Satgas dari salah satu partai. 

Doa dipimpin oleh Pendeta Gemit, Oma Emy. Usai berdoa, pihak Nakertrans memberikan uang duka kepada keluarga korban sebesar Rp.2.500.000. Sementara si wanita atribut kuning tersebut tidak memberikan apapun selain kata-kata belaka.

Tak kupedulikan lagi si wanita kuning saat mobil jenazah meninggalkan kargo. Ia juga segera berlalu meninggalkan Kargo meskipun masih ada satu jenazah asal Papua yang tiba beberapa menit setelahnya. 

“Jenazah asal Papua ini juga PMI yang bekerja di Malaysia namun tidak berdokumen atas nama DW,” ujar salah seorang yang berkerumun di sekitarku. 

      Seluruh biaya pemulangan ditanggung oleh keluarga karena mereka tidak melaporkan kepada BP3TKI. Jenazah laki-laki atas nama DW ini segera didoakan oleh suster Laurentina PI didampingi pendeta Emy. Pihak keluarga juga sangat tertutup dalam memberikan informasi dan segera berpamitan dengan suster saat pintu mobil jenazah ditutup. Mereka tampak ketakutan dan berlalu meninggalkan kargo. 

Proses pemindahan jenazah PMI dari kereta Kargo ke ambulans
Belum mencapai setengah tahun namun sudah ada 41 jenazah yang tercatat dan dipulangkan ke NTT (terhitung sejak Januari 2018). Angka ini merupakan angka yang cukup tinggi dibandingkan tahun lalu, 2017 yang berjumlah 64 jenazah. Aku berdoa agar arwah-arwah jenazah yang kami jemput dapat beristirahat dengan tenang dalam pangkuan Allah Bapa dan semoga tidak akan ada berita duka lagi dari negeri seberang. 

***