Thursday, June 13, 2019

3 Jenazah Berjejer di Kargo Bandara Kupang

#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (12) 

Pada penjemputan kali ini, Jumat (22/6/2018) aku dan suster Laurentina PI menjemput tiga jenazah sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Jenazah yang merupakan PMI kiriman dari Malaysia berangkat dengan pesawat Garuda dan tiba di Kargo Bandara El Tari Kupang pada pukul 13.00 WITA. 

Jenazah RM dan LR di atas troli Kargo Bandara El Tari Kupang 
Selama tiga bulan aktif dalam pelayanan Kargo, baru kali ini mobil ambulans berjejer 3 dan memuat 3 jenazah (dua orang wanita dan seorang pria). Salah satu dari tiga jenazah atas nama MM dijemput secara langsung oleh pihak keluarga, sementara dua jenazah lainnya RM (41) Asal Desa Kuanino Kecamatan Toraja, Kupang NTT (akan dikirimkan ke Maumere) dan LR (34) asal Ende tidak dijemput oleh pihak keluarga. Untuk sementara, kedua jenazah RM dan LR akan disemayamkan sementara di RSUD W.Z. Yohanes Kupang hingga diberangkatkan ke kampung halamannya lewat jalur udara pada hari selanjutnya. 

Satu persatu dari peti sudah dimuat kedalam mobil jenazah. Suster Laurentina PI, Romo Adnan Pr, Oma pendeta Emmy dan Mama pendeta Ina secara bergantian memimpin doa jenazah berdasarkan kepercayaan masing-masing  ada yang Kristen Protestan dan ada juga yang Katolik. Oma Pendeta Emmy dan Mama Ina mendoakan Jenazah atas nama MM yang dijemput oleh seorang puterinya, sementara Suster Laurentina PI dan  Romo Adan Pr memimpin doa untuk jenazah RM dan LR. Usai berdoa, jenazah atas nama MM segera dibawa ke rumah duka di daerah Oebelo, sementara dua jenazah lainnya segera dibawa ke RSUD Yohanes Kupang. 
  
Jenazah RM, MM, LR didoakan di Kargo Bandara El Tari
Aku, suster Laurentina PI serta kedua ibu pendeta turut mengantarkan jenazah MM bersama dengan anggota BP3TKI dan juga Nakertrans Provinsi dengan menggunakan sepeda motor ke rumah duka di Oebelo. Mengikuti iring-iringan mobil jenazah tentu membutuhkan tenaga yang sangat ekstra. Kita harus mempunyai kemampuan mengendarai sepeda motor dengan kecepatan yang sangat tinggi karena ambulans tidak mengenal lampu lalulintas. Supaya tidak ketinggalan, maka aku harus berusaha berada di sisi kanan atau kiri ambulans.  

Sesampai di rumah duka, jenazah disambut isak tangis oleh seluruh anggota keluarga. MM meninggalkan 4 orang anak dan juga 1 orang cucunya. Ia sudah bekerja di Malaysia selama 13 tahun dan baru satu kali pulang ke tanah air. Namun sangat disayangkan, ketika ia kembali ke kampung halaman untuk menjumpai suami, anak dan cucunya beberapa tahun silam, ia harus mendapatkan gugatan cerai dari suaminya dan terpaksa berpisah. 

Kenyataan pahit membulatkan tekadnya untuk kembali bekerja di Malaysia sebagai tukang cuci di sebuah hotel. Ternyata ajal menjemputnya diusianya yang ke 43 tahun karena terinfeksi virus.

“Kami mendengar kabar bahwa virus menyebabkan tekanan darahnya tidak stabil pada 19 Juni 2018. Akhirnya kami harus kehilangan mama ini untuk selamanya,” ujar Mama pendeta Yernad dalam kata sambutan ketika menyambut jenazah dalam peti. 

Usai berdoa, jaringan koalisi Anti Human Trafficking beserta perwakilan dari pemerintah yakni BP3TKI dan Nakertrans bersama Ibu Pendeta Yernad sepakat untuk membuka peti jenazah di hadapan keluarga. Proses pembukaan peti cukup lama karena peti dilem dengan sangat kuat sehingga tidak terbuka selama perjalanan sesuai standar pengiriman jenazah internasional. Beberapa laki-laki dewasa harus menggunakan pisau untuk membuka tutup peti yang bewarna coklat keorenan. 

“Prakkk” tutup peti berhasil dibuka.

Kami melihat ada plastik putih tebal yang sangat besar yang digunakan membungkus jenazah. Orang yang bertugas membuka peti segera membuka dengan pelan plastik penutup jenazah dimulai dari bagian kepala. Ketika plastik berhasil dibuka maka keluar sebuah gas dari dalam jenazah yang sangat pedih dan menyengat. Seketika uap formalin memenuhi ruang tamu tempat jenazah dibaringkan. Aku segera menutup hidungku yang sedikit sensitif. Tangis anak-anak dan keluarga almarhum pecah ketika melihat wajah MM terbujur kaku.

“Mama eee,, mama eee, bangun mama ee,,,, o,, mama eee,” teriak seorang nona sambil berusaha meraih wajahnya. 

Kuberanikan diriku untuk melihat proses pembukaan plastik jenazah dari jarak dekat. Dari tempatku berdiri, kulihat dengan jelas seorang wanita berparas cantik yang kaku dengan jeket jeans, celana hitam dan juga sepatu hak tinggi yang dibungkus rapi. 

Oma pendeta Emmy segera membuka sedikit baju jenazah untuk memeriksa bagian tubuh jenazah dan memastikan kondisi jenazah dalam keadaan baik.

“Hanya ada satu goretan kecil di bagian perut jenazah pertanda sudah dilakukan otopsi,” ucapnya sembari menutup kembali perut jenazah dengan bajunya. 

Peti jenazah MM di buka di rumah duka
Setelah itu, peti kembali di tutup untuk disemayamkan pada sore hari dihari yang sama. Isak tangis keluarga yang berduka tak terbendung. Mereka meraung sekeras mungkin melepas rindu sambil memandang tubuh kaku orang yang dicintainya untuk selamanya. 

“Mama eee, maafkan beta ma. Mama eee, bangun ma. Mama eeee o mama eee,” teriak puterinya tak karuan.    

“Tuhan Engkaulah yang meneriman arwah ibu ini dalam pangkuan-Mu di surga dan berikanlah penghiburan bagi anak-anaknya agar tetap tabah dalam iman akan Engkau,” pintaku dalam hati saat berdiri di depan kaki jenazah.

Kami segera menyalami keluarga yang berduka dan keluar dari ruang tempat jenazah dibaringkan. 

“Yang tabah ya kak,” ujarku kepada si nona yang masih terisak sembari beranjak keluar ruangan untuk mengikuti acara ibadah penguburan.

Pada sore harinya, aku dan suster Laurentina PI mendoakan dua jenazah lainnya di RSUD W.Z.Yohanes Kupang. 

“Selamat sore mama, apakah mama saudara yang meninggal ini?” ujarku sambil menyalam tangan beberapa ibu yang sudah duduk di ruang garasi rumah sakit tempat jenazah di baringkan.

“Bukan nona, saya sama sekali tidak kenal dengan jenazah, hanya saja kami satu kampung, sama-sama dari Ende,” ujarnya sembari tersenyum. 

“Mama dapat informasi dari mana?” tanyaku lagi.

“Saya mendapatkan informasi dari saudara saya yang tinggal di Maumere untuk melayat ke rumah sakit,” ujarnya. 

Ternyata sikap solider masyarakat NTT terhadap orang sekampungnya masih tinggi. Mereka bahkan menganggap bahwa mereka masih keluarga meskipun tidak saling mengenal satu dengan yang lainya karena satu kampung. 

Jenazah PMI LR dan RM di Ruang Jenazah Kargo El Tari
Berdasarkan keterangan yang kami peroleh dari orang-orang yang juga datang berdoa di RSUD Yohanes bahwa jenazah atas nama LR meninggal karena mengidap penyakit asma, sementara atas nama RM meninggal dalam kondisi mengandung. Tidak ada yang mengetahui secara pasti informasi lebih dalam mengenai jenazah. Namun satu hal yang pasti dilakukan mereka dan nyata adalah kesediaan mereka untuk datang mendoakan jenazah sekalipun mereka tidak mengenal jenazah itu. 
 
Suster Laurentina PI, Oma Pendeta Emmy dan Mama Pendeta Ina bersama satu orang pendeta lainnya dengan setia memimpin doa jenazah di rumah sakit atas dasar kemanusiaan. 

“Mari kita bersatu dalam doa,” ajak Oma Pendeta Emy yang bersedia memimpin ibadat. 

Kehadiran mereka para kaum religius bertujuan untuk menyadarkan semua pihak, bahwa jenazah PMI yang diterima dan disambut di Kargo merupakan seorang manusia makhluk ciptaan Allah yang secitra dengan-Nya. Mereka bukan barang yang dianggap tidak berharga. Mereka adalah manusia yang berbudi luhur, yang rela berjuang mempertaruhkan segalanya untuk berjuang di negeri orang. 

“Ironinya, sebagian besar PMI yang pergi bermigrasi karena keluarga, namun sangat disayangkan, disaat hembusan nafas terakhir, tak ada keluarga yang datang menjemput. Pergi untuk keluarga, pulang tanpa keluarga,” tutupnya.  

Aku hanya terdiam dengan pernyataan itu. Ruangan garasi mobil ambulance merupakan saksi bisu dari penjemputan jenazah PMI seketika menjadi sangat luas dan mengerikan. Semuanya hening, kaku sekaku mayat yang terbaring di dalam peti. Meskipun garasi ini rela disulap menjadi tempat bersemayam sementara para jenazah, namun ini tak bisa menutup sebuah realita ketidak pedulian pemerintah NTT terhadap permasalahan kasus Human Trafficking yang sudah mendarah daging dan tidak terpisahkan dari bumi Karang NTT. 

Mereka tak bisa menutupi bahwa sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan, mereka belum benar-benar memberikan hati untuk sesamanya yang menjadi korban dari eksploitasi dan pemerasan tak berperi kemanusiaan hingga menghilangkan hak untuk hidup.   

“Adilkan ini untuk mereka? Dimanakah keadilan? Inikah balasan dari sebuah pengorbanan? Bisakah kau memberikan jawab?” 

Aku masih berdiri di samping kedua peti jenazah. Sama kakunya dengan mereka yang berbaring di dalamnya. 

“Dimanakah keadilan?” tanyaku tak terjawab.

***